Selasa, 22 November 2016

PENGARUH KARAKTERISTIK INDIVIDU DAN KECERDASAN EMOSIONAL TERHADAP KINERJA BIDAN

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.  Latar Belakang
Bidan merupakan salah satu tenaga kesehatan yang memiliki peran penting dalam suatu puskesmas. Bidan memberikan pelayanan kebidanan yang berkesinambungan dan paripurna, berfokus pada aspek pencegahan, promosi dengan berlandaskan kemitraan dan pemberdayaan masyarakat bersama-sama dengan tenaga kesehatan lainnya untuk senantiasa siap melayani siapa saja yang membutuhkannya, kapan dan dimanapun berada. Profesi kebidanan secara nasional diakui dalam undang-undang maupun Peraturan Pemerintah Indonesia yang merupakan salah satu tenaga pelayanan kesehatan profesional (Yanti, 2010).
Bidan puskesmas merupakan bagian sumber daya manusia dalam organisasi puskesmas yang bekerja untuk kepentingan pelayanan masyarakat. Berhasil  atau  tidaknya  suatu  organisasi  puskesmas dalam mencapa tujuannya    tergantung   ole keberhasilan individu organisasi termasuk para bidan dalam menjalankan tugas mereka. Bidan merupakan sumber daya yang penting bagi organisasi puskesmas, karena memiliki akal, bakat, tenaga, keinginan, pengetahuan, perasaan, dan kreatifitas serta kinerja yang tinggi yang sangat dibutuhkan oleh organisasi untuk mencapai visi dan misi organisasi. Kinerja adalah prestasi kerja atau prestasi sesungguhnya yang dicapai seseorang (Mangkunegara, 2010). Kinerja merupakan kualitas dan kuantitas hasil kerja yang dicapai seorang pegawai berdasarkan standar yang telah ditetapkan dalam waktu tertentu. Kinerja pegawai akan memberikan kontribusi yang nyata terhadap kinerja organisasi. Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi kinerja sumber daya manusia (SDM). Menurut Simamora (2005) kinerja dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu faktor individu, faktor psikologis dan faktor organisasi. Sedangkan Rahmatullah (2003) menjelaskan bahwa kinerja SDM dipengaruhi tiga faktor, yaitu faktor individu, faktor psikologis, dan faktor organisasi. Wirawan (2009) menjelaskan bahwa kinerja SDM merupakan hasil sinergi dari tiga faktor, yaitu faktor internal karyawan, faktor internal organisasi dan faktor eksternal. Dalam penelitian ini kinerja bidan akan dianalisa dari pengaruh karakteristik individu dan kecerdasan emosional.
Karakteristik individu adalah segala sesuatu yang melekat dalam diri seseorang yang bisa mempengaruhi kinerjanya. Menurut Robbins (2006) karakteristik individu dilihat dari faktor-faktor yang mudah didefinisikan dan tersedia, data yang dapat diperoleh sebagian besar dari informasi yang tersedia dalam berkas personalia seorang pegawai. Ia mengemukakan karakteristik individu meliputi usia, jenis kelamin, status perkawinan, banyaknya tanggungan dan masa kerja dalam organisasi. Sedangkan Siagian (2008) menyatakan bahwa, karakteristik biografikal (individu) dapat dilihat dari umur, jenis kelamin, status perkawinan, jumlah tanggungan dan masa kerja.
Kecerdasan emosional adalah kemampuan lebih yang dimiliki seorang dalam memotivasi diri, ketahanan dalam menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda kepuasan, serta mengatur jiwa. Dengan kecerdasan emosional tersebut seorang dapat menempatkan emosinya pada porsi yang tepat, memiliki kepuasan dan mengatur suasana hati (Goleman, 2005). Menurut Meyer (2007) kecerdasan emosional juga diartikan suatu kemampuan khusus membaca perasaan terdalam orang yang melakukan kontak, dan menangani relasi secara efektif. Sementara pada saat yang sama dapat memotivasi diri sendiri dan memenuhi tantangan manajemen relasi. Kecerdasan emosional seorang bidan bisa diartikan sebagai kemampuan bidan dalam memberikan hubungan baik dengan masyarakat atau pasien, memberikan pelayanan penyembuhan, memberikan motivasi sehat, dan memotivasi diri sendiri sebagai pelayan kesehatan untuk masyarakat umum.
Dalam penelitian ini, peneliti mengkaji pengaruh karakteristik individu dan kecerdasan emosional terhadap kinerja bidan pada lingkup Puskesmas Teja Kabupaten Pamekasan. Pada saat ini terdapat 30 bidan yang bertugas di Puskesmas Teja Kabupaten Pamekasan. Penilaian kinerja bidan sebagai pelaku organisasi pusat pelayanan kesehatan masyarakat dilakukan dengan membuat ukuran kinerja yang sesuai dengan tujuan organisasi. Standar penilaian kinerja bidan harus dapat diproyeksikan kedalam standar kinerja para bidan sesuai dengan unit kerjanya. Untuk itu perlu dilakukan kegiatan penilaian kinerja secara periodik yang berorientasi pada kegiatan-kegiatan bidan, baik kegiatan pokok bidan maupun kegiatan administrasi yang telah ditangani oleh bidan, agar kriteria penilaian kinerja bidan sesuai dengan standar kriteria kinerja yang ditetapkan.
Berdasarkan uraian tersebut maka peneliti ingin mengadakan penelitian yang berjudul PENGARUH KARAKTERISTIK INDIVIDU DAN KECERDASAN EMOSIONAL TERHADAP KINERJA BIDAN PADA LINGKUP PUSKESMAS TEJA KABUPATEN PAMEKASAN.
1.2.  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas rumusan masalah yang diajukan sebagai berikut:
1.        Apakah karakteristik individu dan kecerdasan emosional secara simultan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kinerja bidan pada lingkup Puskesmas Teja Kabupaten Pamekasan?
2.        Apakah karakteristik individu dan kecerdasan emosional secara parsial mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kinerja bidan pada lingkup Puskesmas Teja Kabupaten Pamekasan?

1.3.  Tujuan Penelitian 
Penelitian ini bertujuan untuk :
1.        Mengetahui dan menganalisis pengaruh simultan karakteristik individu dan kecerdasan emosional secara signifikan terhadap kinerja bidan pada lingkup Puskesmas Teja Kabupaten Pamekasan.
2.        Mengetahui dan menganalisis pengaruh parsial karakteristik individu dan kecerdasan emosional secara signifikan terhadap kinerja bidan pada lingkup Puskesmas Teja Kabupaten Pamekasan.

1.4.  Manfaat Penelitian 
1.        Manfaat praktis
Sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi Puskesmas Teja mengenai sejauhmana pengaruh karakter individu dan kecerdasan emosial terhadap kinerja bidan, sehingga pimpinan puskesmas mampu menilai kinerja para bidan dan mengambil kebijakan dalam peningkatan kinerja sesuai dengan standar yang ditetapkan.
2.        Manfaat teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi pihak lain khususnya penelitian mendatang dalam melakukan kajian atau penelitian dengan pokok permasalahan yang sama, serta sebagai bahan bacaan dan pengetahuan bagi pembaca pada umumnya.

















 
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.  Landasan Teori
2.1.1.  Karakteristik Individu
Makmuri (2004) menyebutkan bahwa manusia berperilaku baik ataupun buruk ditentukan oleh empat variabel yaitu karakteristik biografik, kemampuan, kepribadian, dan proses belajar. Karakteristik biografik pada diri individu dapat berupa umur, jenis kelamin, status perkawinan, jumlah anggota dalam keluarga, pendapatan dan senioritas. Pendapat lain dikemukakan oleh Rakhmat (2004) bahwa salah satu faktor situasional yang mempengaruhi perilaku manusia adalah faktor-faktor sosial yang didalamnya adalah karakteristik individu dalam populasi berupa usia, kecerdasan, dan karakteristik biologis. Pendapat ini didukung oleh Darma (2005) bahwa faktor-faktor karakteristik individu yang mempengaruhi kinerja meliputi umur, jenis kelamin, pendidikan, lama kerja, penempatan kerja.
Mathis dan Jackson (2002) menyatakan bahwa, karakteristik personal (individu) mencakup usia, jenis kelamin, masa kerja, tingkat pendidikan, suku bangsa, dan kepribadian. Robbins (2006) menyatakan bahwa, faktor-faktor yang mudah didefinisikan dan tersedia, data yang dapat diperoleh sebagian besar dari informasi yang tersedia dalam berkas personalia seorang pegawai mengemukakan karakteristik individu meliputi usia, jenis kelamin, status perkawinan, banyaknya tanggungan dan masa kerja dalam organisasi. Siagian (2008) menyatakan bahwa, karakteristik biografikal (individu) dapat dilihat dari umur, jenis kelamin, status perkawinan, jumlah tanggungan dan masa kerja. Dari pendapat Robbins dan Siagian di atas yang membentuk karakteristik individu dalam organisasi meliputi: usia, jenis kelamin, status perkawinan, masa kerja, dan jumlah tanggungan.
1.   Faktor-faktor karakteristik individu
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi karakteristik individu, antara lain :
a.  Usia
Kamus Umum Bahasa Indonesia menyatakan bahwa, usia (umur) adalah lama waktu hidup atau ada (sejak dilahirkan atau diadakan. Dyne dan Graham (2005) menyatakan bahwa, pegawai yang berusia lebih tua cenderung lebih mempunyai rasa keterikatan atau komitmen pada organisasi dibandingkan dengan yang berusia muda sehingga meningkatkan loyalitas mereka pada organisasi. Hal ini bukan saja disebabkan karena lebih lama tinggal di organisasi, tetapi dengan usia tuanya tersebut, makin sedikit kesempatan pegawai untuk menemukan organisasi. Robbins (2006) menyatakan bahwa, semakin tua usia pegawai, makin tinggi komitmennya terhadap organisasi, hal ini disebabkan karena kesempatan individu untuk mendapatkan pekerjaan lain menjadi lebih terbatas sejalan dengan meningkatnya usia. Keterbatasan tersebut dipihak lain dapat meningkatkan persepsi yang lebih positif mengenai atasan sehingga dapat meningkatkan komitmen mereka terhadap organisasi.
Nitisemito (2000) menyatakan bahwa, pegawai yang lebih muda cenderung mempunyai fisik yang kuat, sehingga diharapkan dapat bekerja keras dan pada umumnya mereka belum berkeluarga atau bila sudah berkeluarga anaknya relatif masih sedikit. Tetapi pegawai yang lebih muda umumnya kurang berdisiplin, kurang bertanggungjawab dan sering berpindah-pindah pekerjaan dibandingkan pegawai yang lebih tua.
b.  Jenis Kelamin
Sebagai   makhluk   Tuhan,   manusia   dibedakan   menurut  jenis
kelaminnya yaitu pria dan wanita. Robbins (2006) menyatakan bahwa, tidak ada perbedaan yang konsisten antara pria dan wanita dalam kemampuan memecahkan masalah, ketrampilan analisis, dorongan kompetitif, motivasi, sosiabilitas atau kemampuan belajar. Namun studi-studi psikologi telah menemukan bahwa wanita lebih bersedia untuk mematuhi wewenang dan pria lebih agresif dan lebih besar kemungkinannya daripada wanita dalam memiliki pengharapan untuk sukses. Dyne dan Graham (2005) menyatakan bahwa pada umumnya wanita menghadapi tantangan lebih besar dalam mencapai karirnya. Hal ini disebabkan wanita merasa bahwa tanggung jawab rumah tangganya ada di tangan suami mereka, sehingga gaji bukanlah sesuatu yang sangat penting bagi dirinya.
c.  Status perkawinan
Status perkawinan adalah ikatan lahir batin antara pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Soekanto (2000), menyatakan bahwa, perkawinan (marriage) adalah ikatan yang sah antara seorang pria dan wanita yang menimbulkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban antara mereka maupun turunannya. Robbins (2006) menyatakan bahwa, pernikahan memaksakan peningkatan tanggung jawab yang dapat membuat suatu pekerjaan menjadi lebih berharga dan penting.
d.  Masa Kerja
Menurut Balai Pustaka Departemen Pendidikan dan Kebudayaan  menyatakan bahwa masa kerja (lama bekerja) merupakan pengalaman individu yang akan menentukan pertumbuhan dalam pekerjaan dan jabatan. Pengalaman kerja didefinisikan sebagai suatu kegiatan atau proses yang pernah dialami oleh seseorang ketika mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Siagian (2008) menyatakan bahwa, masa kerja menunjukkan berapa lama seseorang bekerja pada masing-masing pekerjaan atau jabatan. Kreitner dan Kinicki (2004) menyatakan bahwa, masa kerja yang lama akan cenderung membuat seorang pegawai lebih merasa betah dalam suatu organisasi, hal ini disebabkan diantaranya karena telah beradaptasi dengan lingkungannya yang cukup lama sehingga seorang pegawai akan merasa nyaman dengan pekerjaannya. Penyebab lain juga dikarenakan adanya kebijakan dari instansi atau perusahaan mengenai jaminan hidup di hari tua.
e.  Jumlah tanggungan
Siagian (2008) menyatakan bahwa, jumlah tanggungan adalah seluruh jumlah anggota keluarga yang menjadi tanggungan seseorang. Berkaitan dengan tingkat absensi, jumlah tanggungan yang lebih besar akan mempunyai kecenderungan absen yang kecil, sedangkan dalam kaitannya dengan turn over maka semakin banyak jumlah tanggungan seseorang, kecenderungan untuk pindah pekerjaan semakin kecil.
Mengacu pada berbagai terori di atas, dalam penelitian ini pembentuk karakteristik individu yang mempengaruhi kinerja karyawan adalah : usia, status perkawinan, masa kerja, jumlah tanggungan, dan pendapatan.

2.1.2.  Kecerdasan Emosional
Goleman (2005) mendefinisikan kecerdasan emosional (EQ) sebagai kapasitas dalam mengenali perasaaan-perasaan diri sendiri dan orang lain, dalam memotivasi diri sendiri dan mengelola emosi-emosi dengan baik dalam diri kita sendiri maupun dalam hubungan-hubungan kita. Goleman menjelaskan bahwa koordinasi suasana hati adalah inti dari hubungan sosial yang baik. Apabila seorang pandai menyesuaikan diri dengan suasana hati individu yang lain atau dapat berempati, orang tersebut akan memiliki tingkat emosional yang baik dan akan lebih mudah menyesuaikan diri dalam pergaulan sosial serta lingkungannya. Goleman juga menyatakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan lebih yang dimiliki seorang dalam memotivasi diri, ketahanan dalam menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda kepuasan, serta mengatur jiwa. Dengan kecerdasan emosional tersebut seorang dapat menempatkan emosinya pada porsi yang tepat, memiliki kepuasan dan mengatur suasana hati.
Menurut Meyer (2007) kecerdasan emosional juga diartikan suatu kemampuan khusus membaca perasaan terdalam orang yang melakukan kontak, dan menangani relasi secara efektif. Sementara pada saat yang sama dapat memotivasi diri sendiri dan memenuhi tantangan manajemen relasi. Kemampuan ini pada dasarnya dimiliki oleh ahli strategi, motivator, pelatih, negosiator dan semua pengembang sumber daya manusia, mereka juga mendengar kata-kata yang tak terucapkan, pesan yang tak terdengar, melalui wajah dan bahasa tubuh sehingga dapat menyampaikan berita yang memiliki arti penting. Pengertian lain menurut Robbins (2006), kecerdasan emosional adalah kumpulan keterampilan, kemampuan dan kompetisi non-kognitif yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil dalam menghadapi tuntutan dan tekanan lingkungan.
Cooper  (2002) mendefinisikan kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan, memahami dan secara selektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi dan pengaruh yang manusiawi. Kecerdasan emosi menuntut pemilikan perasaan untuk belajar mengakui, menghargai perasaan pada diri dan orang lain serta menanggapinya dengan tepat, menerapkan secara efektif energi emosi dalam kehidupan sehari-hari. Tentu saja kecerdasan emosional tidak cukup hanya memiliki perasaan. Kecerdasan emosional menuntut kita untuk belajar mengakui dan menghargai perasaan-pada diri kita dan orang lain-dan untuk menanggapinya dengan tepat, menerapkannya dengan efektif informasi dan energi emosi dalam kehidupan dan pekerjaan.
Agustian (2006), menerjemahkan kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk merasa. Kunci kecerdasan emosi adalah pada kejujuran suara hati. Suara hati itulah yang harusnya dijadikan pusat prinsip yang mampu memberi rasa aman, pedoman, kekuatan serta kebijaksanaan.
Sternberg dan Salovey (dalam Goleman, 2005) mengatakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan mengenali emosi diri merupakan kemampuan seseorang dalam mengenali perasaannya sendiri sewaktu perasaan atau emosi itu muncul dan ia mampu mengenali emosinya sendiri apabila ia memiliki kepekaan yang tinggi atas perasaan mereka yang sesungguhnya dan kemudian mengambil keputusan mengambil keputusan-keputusan secara mantap.
Pengertian kecerdasan emosional yang lain dikemukan oleh Mayer (dalam Goleman, 2005) adalah sebagai sekelompok kemampuan mental yang membantu mengenali dan memahami perasaan-perasaan sendiri dan perasaan orang lain yang menuntun kepada kemampuan untuk mengatur perasaan-perasaan sendiri. Ada dua sisi kecerdasan emosi, yaitu kepandaian memahami emosi dan menambahkan kreativitas dan intuisi pada pikiran logis.  Kecerdasan emosi berkembang sejalan dengan usia dan pengalaman dari kanak-kanak hingga dewasa, lebih penting lagi bahwa kecerdasan emosional dapat dipelajari.  Kecerdasan emosional sebagai kemampuan di bidang emosi, yaitu kemampuan menghadapi frustasi, kemampuan mengendalikan emosi, semangat optimisme, dan kemampuan menjalin hubungan dengan orang lain (empati).  Awangga (2008) menyatakan bahwa kecerdasan emosional identifikasi atau mengenali nama-nama orang lain; mengungkapkan emosi, menilai intensitas emosi, menunda atau mengetahui perbedaan emosi. Ketrampilan kognitif antara lain, mengenali isyarat dan aturan sosial atau sopan santun, introspeksi atau evaluasi diri, berpikir positif; kesadaran diri, dan menyelesaikan masalah. Sementara keterampilan perilaku meliputi kemampuan non-verbal (menyampaikan pesan atau emosi dengan bahasa atau isyarat tubuh) dan verbal (berbicara).
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan definisi kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang untuk memahami emosi sendiri dan emosi orang lain, memotivasi diri, serta menjalin hubungan dengan orang lain. Goleman (2005) menjelaskan bahwa kecerdasan emosional terbagi ke dalam lima wilayah utama, yaitu kemampuan mengenali emosi diri, mengelola emosi diri, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain, dan kemampuan membina hubungan dengan orang lain. Secara jelas hal tersebut dijelaskan sebagai berikut:
1.    Kesadaran Diri (Self Awareness)
Self Awareness adalah kemampuan untuk mengetahui apa yang dirasakan dalam dirinya dan menggunakannya untuk memandu pengambilan keputusan diri sendiri, memiliki tolok ukur yang realistis atas kemampuan diri sendiri dan kepercayaan diri yang kuat.
Kesadaran diri adalah suatu cara memproses informasi sehingga sadar akan perasaan dan perilaku diri maupun persepsi orang lain tentang diri pribadi. Proses ini dapat dilakukan dengan memanfaatkan informasi, kepekaan, perasaan, penilaian dan maksud diri yang disediakan oleh diri sendiri. Informasi ini akan membantu seseorang untuk memahami cara diri untuk menanggapi, bersikap, berkomunikasi, dan bertindak di dalam situasi yang berbeda. Kesadaran diri yang tinggi merupakan dasar dari kecerdasan emosional dan kesadaran diri yang rendah dapat menghambat tindakan atau pekerjaan yang seharusnya dilakukan. Kesadaran diri dapat diperlihatkan dengan kepercayaan diri, penilaian diri yang realistis dan rasa humor yang mencela diri sendiri.
2.    Pengelolaan Diri (Self Management)
Self Management adalah kemampuan seseorang dalam mengendalikan dan menangani emosinya sendiri sedemikian rupa sehingga berdampak positif pada pelaksanaan tugas, memiliki kepekaan pada kata hati, serta sanggup menunda kenikmatan sebelum tercapainya suatu sasaran dan mampu pulih kembali dari tekanan emosi.
Pengelolaan diri adalah kemampuan mengelola emosi dengan cara memahami emosi dan kemudian menggunakan pemahaman tersebut untuk merubah situasi bagi kebaikan diri. Pengelolaan diri ini dapat diperlihatkan dengan sifat layak dipercaya dan integritas, nyaman menghadapi ambiguitas dan keterbukaan terhadap perubahan.
3.    Motivasi (Self Motivation)
Self Motivation merupakan hasrat yang paling dalam untuk menggerakkan dan menuntun diri menuju sasaran, membantu pengambilan inisiatif serta bertindak sangat efektif, dan mampu untuk bertahan dan bangkit dari kegagalan dan frustasi. Motivasi diri adalah kemampuan untuk menyadari dan menggunakan sumber motivasi diri untuk menghadapi kegagalan dan berusaha untuk bangkit kembali. Empat sumber motivasi diri adalah: diri sendiri (pemikiran, stimulasi, perilaku diri); teman, keluarga, rekan kerja yang mendukung; mentor emosi (nyata ataupun fisik); lingkungan kerja (udara, cahaya, suara dan pesan-pesan di kantor). Motivasi diri dapat diperlihatkan dengan dorongan yang kuat untuk mencapai prestasi, optimisme, dan komitmen organisasi yang tinggi.
4.    Empati (Empathy/Social awareness)
Empathy merupakan kemampuan merasakan apa yang dirasakakan orang lain, mampu memahami perspektif orang lain dan menumbuhkan hubungan saling
percaya, serta mampu menyelaraskan diri dengan berbagai tipe hubungan. Empati adalah kemampuan untuk merasakan bagaimana perasaan orang lain dengan cara mengenali dan merespon emosi serta perasaan orang lain, menuntun emosi itu menuju resolusi yang produktif atas suatu situasi dan menggunakan emosi tersebut untuk membantu orang lain menolong diri mereka. Empati ini dapat diperlihatkan dengan keahlian membangun dan mempertahankan bakat, kepekaan lintas budaya, dan layanan terhadap klien atau pekerja.
5.    Ketrampilan Sosial (Relationship Management)
Relationship Management adalah kemampuan untuk menangani emosi dengan baik ketika berhubungan sosial dengan orang lain, mampu membaca situasi dan jaringan sosial secara cermat, berinteraksi dengan lancar, menggunakan ketrampilan ini untuk mempengaruhi, memimpin, bermusyawarah, menyelesaikan perselisihan, serta bekerja sama dalam tim. Keterampilan ini dapat diperlihatkan dengan kemampuan memimpin upaya perubahan, pembujukan dan keahlian membangun dan memimpin tim.
Goleman (2005) lebih lanjut mengatakan bahwa yang termasuk dimensi dari kecerdasan emosional adalah kemampuan mengontrol diri, memacu, tetap tekun, serta dapat memotivasi diri. Kemampuan tersebut mencakup pengelolaan bentuk emosi baik yang positif maupun yang negatif.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa indikator kecerdasan emosional adalah 1) kemampuan untuk mengetahui perasaan sendiri sehingga mengetahui kelebihan dan kekurangannya, 2) kemampuan menangani emosi sendiri, 3) kemampuan memotivasi diri untuk terus maju, 4) kemampuan merasakan emosi dan kepribadian orang lain, dan 5) kemampuan menjalin hubungan dengan orang lain.
Dalam suatu organisasi, setiap pegawai berinteraksi dengan pegawai lainnya. Dibutuhkan rasa nyaman dan menyenangkan dari setiap pegawai, sehingga mereka dapat bekerjasama dengan baik, serta memiliki kemampuan untuk mengorganisasikan kelompok, mampu berkomunikasi dengan baik, mampu mengelola konflik yang terjadi dalam organisasi, serta menjadi katalisator perubahan yang terjadi dalam organisasi. Kemampuan seorang pegawai dalam mengatur emosinya secara cerdas akan memunculkan sosok pegawai yang mampu mengunakan emosinya secara benar, tenang dalam bekerja dan dapat mengambil keputusan dengan tepat. Pegawai demikian akan efektif dalam melaksanakan tugasnya. Menurut Carter (2010), ada dua aspek utama kecerdasan emosional yaitu: (1) memahami diri sendiri, tujuan, cita-cita, respons, dan perilaku, (2) memahami orang lain dan perasaan mereka.
Dengan memiliki kecerdasan emosional yang baik, yakni memahami perasaan sendiri akan memunculkan sikap bijaksana dalam mengambil keputusan, serta dapat mengungkapkan emosinya secara selaras. Pegawai yang mampu mengendalikan dirinya sendiri selalu tenang dalam menghadapi permasalahan dalam pekerjaan, sehingga dapat mengatasi permasalahan dengan pikiran yang jernih, juga akan dapat bernegosiasi dalam memecahkan suatu masalah atau memecahkan silang pendapat diantara pegawai yang lain. Selain itu mampu menciptakan sinergi kelompok dan dapat bekerjasama dengan orang lain demi tujuan bersama.
Goleman (2005), menjelaskan bahwa emosi sangat penting bagi kehidupan manusia kerena emosi merupakan penggerak perilaku (motivator) dalam arti dapat meningkatkan kinerja, namun sebaliknya apabila kecemasan yang ditimbulkan berlebihan akan dapat menghambat prestasi kerjanya. Pendapat tersebut memperlihatkan bahwa terdapat dua sisi dari emosi, yaitu emosi yang terkendali akan menjadi motivator terhadap peningkatan kualitas perilaku, sedang emosi yang tidak terkendali terutama apabila menimbulkan kecemasan berlebihan akan menjadi penghambat prestasi. Oleh sebab itu, seseorang yang memiliki kecerdasan emosional yang baik harus mampu mengelola dengan baik, sehingga menjadi motivator perilaku, dan menekan emosi (kecemasan berlebihan) yang menjadi penghambat dalam meningkatkan kinerja.
Menurut Carter (2010), orang yang memiliki soft competency sering disebut memiliki kecerdasan emosional atau emotional intelligence, yang sering diukur sebagai emotional intelligent quotient (EQ), adalah kemampuan untuk menyadari emosi diri sendiri dan emosi orang lain. Adanya hubungan antara kompetensi dan kemampuan seseorang dalam mengendalikan emosi sangat bermanfaat untuk mengembangkan kompetensi seseorang. Apabila seseorang ingin merubah kompetensinya, dia harus mampu merubah cara berpikirnya, terutama dalam menggunakan kemampuan intelegensinya serta mengendalikan emosinya. Jika kita mengabaikan pengembangan kecerdasan emosional kita dengan tidak menjalankan disiplin diri untuk berusaha mencapai kemenangan pribadi yang selanjutnya akan membawa kemenangan publik, kita akan mengalami trauma-trauma emosional, stres, dan emosi-emosi yang negatif dan merusak, seperti marah, iri hati, ketamakan, kecemburuan, dan rasa bersalah yang irasional. Pengembangan kompetensi teknis biasanya lebih mudah dilakukan daripada pengembangan kompetensi perilaku karena kompetensi teknis lebih fokus kepada pengetahuan dan keterampilan yang dapat diperoleh dan dikembangkan dengan hanya membaca, mendengar atau mengikuti pelatihan. Berbeda dari kompetensi teknis, pengembangan kompetensi perilaku memerlukan waktu yang lebih panjang karena pengembangan kompetensi perilaku memerlukan perubahan sikap. Perubahan sikap tersebut erat hubungannya dengan keseimbangan emosi dan logika, karena itu perubahan sikap tersebut memerlukan kecerdasan emosi. Dengan kemampuan emosional yang berkembang baik, seseorang kemungkinan besar ia akan berhasil dan bahagia dalam kehidupannya, karena ia menguasai kebiasaan berfikir yang mendorong produktivitasnya. Sedangkan orang yang tidak dapat mengendalikan kehidupan emosionalnya, ia akan mengalami pertarungan batin, yang merampas kemampuan mereka dalam memusatkan perhatian pada pekerjaan. Dengan demikian, konsep kecerdasan emosional berarti memiliki kesadaran diri yang memungkinkan diri sendiri untuk mengenali perasaan-perasaan dan mengelola emosi diri sendiri dan itu melibatkan motivasi diri dan mampu untuk fokus pada sebuah tujuan dari pada menuntut pemenuhan segera.

2.1.3. Kinerja Bidan
A.  Pengertian Kinerja
Kinerja merupakan istilah yang berasal dari kata Job Performance atau Actual Performance yaitu prestasi kerja atau prestasi sesungguhnya yang dicapai oleh seseorang (Mangkunegara, 2010). Definisi kinerja dinyatakan oleh beberapa ahli, diantaranya: ”perbandingan antara hasil kerja yang secara nyata dengan standar kerja yang ditetapkan”. Dessler (2003), ”kesuksesan seseorang dalam melaksanakan pekerjaan atau successful role achievement yang diperoleh dari pembuatan-pembuatannya”. Wirawan (2009) menyatakan bahwa kinerja merupakan singkatan dari kinetika energi kerja. Kinerja adalah keluaran yang dihasilkan oleh fungsi-fungsi atau indikator suatu pekerjaan atau suatu profesi dalam waktu tertentu. Mangkunegara (2010) menjelaskan bahwa kinerja individu adalah hasil kerja baik dari segi kualitas maupun kuantitas berdasarkan standar kerja yang telah ditentukan. Kinerja individu ini akan tercapai apabila didukung oleh atribut individu, upaya kerja (work effort) dan dukungan organisasi.
Hasibuan (2007) menyatakan kinerja merupakan perwujudan kerja yang dilakukan oleh karyawan yang biasanya dipakai sebagai dasar penilaian terhadap karyawan atau organisasi. Kinerja yang baik merupakan langkah untuk tercapainya tujuan organisasi. Sehingga perlu diupayakan usaha untuk meningkatkan kinerja. Tetapi hal itu tidak mudah sebab banyak faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya kinerja seseorang. As’ad (2000) menyatakan kinerja adalah hasil yang dicapai seseorang menurut ukuran yang berlaku untuk pekerjaan yang bersangkutan. Dharma (2001) menyatakan sesuatu yang dikerjakan atau produk/jasa yang dihasilkan atau diberikan seseorang atau sekelompok orang.
Bernadin dan Russel (2000) menyatakan kinerja adalah catatan perolehan yang dihasilkan dari fungsi suatu pekerjaan tertentu atau kegiatan selama satu periode pekerjaan tertentu. Simamora (2004) menyatakan kinerja mengacu pada kadar pencapaian tugas-tugas yang membentuk sebuah pekerjaan karyawan. Kinerja merefleksikan seberapa baik karyawan memenhi persyaratan sebuah pekerjaan. Rivai (2008) menyatakan kinerja merupakan perilaku nyata yang ditampilkan setiap orang sebagai prestasi kerja yang dihasilkan oleh karyawan sesuai dengan perannya dalam perusahaan. Kinerja karyawan merupakan suatu hal yang sangat penting dalam upaya perusahaan untuk mencapai tujuannya.
Dari beberapa uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kinerja adalah hasil nyata yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas yang diberikan kepadanya sesuai dengan kriteria dan tujuan yang ditetapkan oleh organisasi.
Kinerja diketahui dengan cara melakukan penilaian kinerja. Menurut Simamora (2004) penilaian kinerja seyogyanya tidak dipahami secara sempit, tetapi dapat menghasilkan beraneka ragam jenis kinerja yang diukur melalui berbagai cara. Kuncinya adalah dengan sering mengukur kinerja dan menggunakan informasi tersebut untuk koreksi pertengahan periode. Simamora juga mengatakan bahwa kinerja karyawan sesungguhnya dinilai atas lima dimensi, yaitu mutu, kuantitas, penyelesaian proyek, kerjasama, dan kepemimpinan. Sedangkan menurut Tohardi (2002) menyatakan bahwa unsur-unsur kinerja dinilai dari tujuh kriteria, yaitu kesetiaan, prestasi kerja, tanggung jawab, ketaatan, kejujuran, prakarsa, dan kepemimpinan. Tidak semua kriteria pengukuran kinerja dipakai dalam suatu penilaian kinerja karyawan dimana hal ini harus disesuaikan dengan jenis pekerjaan yang akan dimulai. Penerapan standar diperlukan untuk mengetahui apakah kriteria karyawan telah sesuai dengan sasaran yang telah diharapkan, sekaligus melihat besarnya penyimpangan dengan cara membanding kan antara hasil pekerjaan aktual dengan hasil yang diharapkan. Oleh karena itu  standar yang baku merupakan tolok ukur bagi kinerja yang akan dievaluasi.
Aspek penting dari suatu sistem penilaian kinerja adalah standar yang jelas. Sasaran utama dari adanya standar tersebut ialah teridentifikasinya unsur-unsur kritikal suatu pekerjaan. Standar itulah yang merupakan tolok ukur seseorang melaksanakan pekerjaannya. Standar yang telah ditetapkan tersebut harus mempunyai nilai komparatif yang dalam penerapannya harus dapat berfungsi sebagai alat pembanding antara prestasi kerja seorang karyawan dengan karyawan lain yang melakukan pekerjaan sejenis. Menurut Robbins (2006) metode penilaian kinerja pada umumnya dikelompokkan menjadi tiga macam, yaitu; result-based performance evaluation; behavior-based performance evaluation; judgment-based performance evaluation.
1.        Penilaian kinerja berdasarkan hasil (result-based performance evaluation). Tipe kriteria ini merumuskan performansi pekerjaan berdasarkan pencapaian tujuan organisasi, atau mengukur hasil-hasil akhir. Sasaran performansi bisa ditetapkan oleh manajemen atau oleh kelompok kerja, tetapi jika menginginkan agar para pekerja meningkatkan produktivitas kerja, maka penetapan sasaran secara partisipatif, dengan melibatkan para pekerja, akan jauh berdampak positif terhadap peningkatan produktivitas organisasi. Praktek penetapan tujuan secara partisipatif, yang biasanya dikenal dengan istilah management bu objective (MBO), dianggap sebagai sarana motivasi yang sangat strategis karena para pekerja langsung terlibat dalam keputusan-keputusan perihal tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Para pekerja akan cenderung menerima tujuan-tujuan itu sebagai tujuan mereka sendiri, dan merasa lebih bertanggung jawab untuk dan selama pelaksanaan pencapaian tujuan-tujuan itu.
2.        Penilaian kinerja berdasarkan perilaku (behavior-based performance evaluation). Tipe performansi ini mengukur sarana (means) pencapaian sasaran dan bukannya hasil akhir. Dalam praktek, kebanyakan pekerjaan tidak memungkinkan diberlakukannya ukuran-ukuran performansi yang berdasarkan pada obyektivitas, karena melibatkan aspek-aspek kualitatif. Jenis kriteria ini biasanya dikenal dengan BARS (behaviorally anchored rating scales) dibuat dari critical incident yang terkait dengan berbagai dimensi performansi. BARS menganggap bahwa para pekerja bisa memberikan uraian yang tepat mengenai perilaku atau performansi yang efektif dan yang tidak efektif. Standar-standar dimunculkan dari diskusi-diskusi kelompok mengenai kejadian-kejadian kritis di tempat kerja. Sesudah serangkaian diskusi, skala dibangun bagi setiap dimensi pekerjaan. Jika tercapai tingkat persetujuan yang tinggi antara para penilai maka BARS diharapkan mampu mengukur secara tepat mengenai apa yang akan diukur. BARS merupakan instrumen yang paling bagus untuk pelatihan dan produksi dari berbagai departemen. Sifatnya kolaboratif memakan waktu yang banyak dan biasanya pada jenis pekerjaan tertentu, adalah job specific, tidak banyak dipindahkan dari suatu organisasi ke organisasi lain.
3.        Penilaian kinerja berdasarkan judgement (judgement-based performance evaluation). Tipe kriteria performansi yang menilai dan atau mengevaluasi performansi kerja pekerja berdasarkan deskripsi perilaku yang spesifik seperti kualitas kerja, kuantitas kerja, pengetahuan, kerjasama, inisiatif, dan sejenisnya. Dimensi-dimensi ini biasanya menjadi perhatian dari tipe ini.

B.  Kinerja Bidan 
Kinerja bidan sesuai dengan buku panduan bidan di tingkat desa dapat diukur melalui keberhasilan bidan dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi bidan menurut Depkes (2003), yaitu:
1.        Meningkatkan cakupan dan mutu pelayanan kesehatan ibu hamil, pertolongan persalinan, perawatan nifas, kesehatan bayi dan anak balita serta pelayanan dan konseling pemakaian kontrasepsi serta keluarga berencana melalui upaya strategis antara lain posyandu dan polindes.
2.        Menjaring seluruh kasus resiko tinggi ibu hamil, bersalin, nifas, dan bayi baru lahir untuk mendapatkan penanganan memadai sesuai kasus rujukannya.
3.        Meningkatkan peran serta masyarakat dalam pembinaan kesehatan ibu dan anak di wilayah kerjanya.
4.        Meningkatkan perilaku sehat pada ibu, keluarga dan masyarakat yang mendukung upaya penurunan angka kematian ibu dan angka kematian bayi.
Untuk mendukung keberhasilan kinerja bidan maka bidan diwajibkan tinggal serta bertugas melayani masyarakat di wilayah kerjanya yang meliputi 1 atau 2 desa serta melakukan pelayanan secara aktif, artinya tidak selalu menetap atau menunggu pasien di tempat pelayanan atau polindes, namun juga melakukan kegiatan pelayanan keliling dan kunjungan rumah sesuai dengan kebutuhan.
Batasan tugas dan fungsi bidan desa seperti diuraikan di atas dapat dijabarkan lebih rinci sebagai berikut (Depkes, 2003):
1.        Pelayanan antenatal: dilaksanakan sesuai standar 5T yaitu pemeriksaan fundus uteri, mendapat tetanus toxoid, penimbangan berat badan, pemeriksaan tekanan darah dan mendapat tablet tambah darah.
2.        Penjaringan (deteksi): penemuan ibu beresiko hamil.
3.        Kunjungan ibu hamil: kunjungan tidak mengandung arti bahwa ibu hamil
yang berkunjung ke sarana kesehatan tetapi setiap kontak dengan tenaga kesehatan.
4.        Kunjungan ibu baru hamil (K-I):kunjungan ibu hamil yang pertama kali.
5.        Kunjungan ulang: adalah kontak ibu hamil yang kedua dan seterusnya dengan tenaga kesehatan.
6.        Kunjungan K-4: adalah kunjungan yang keempat atau lebih untuk mendapatkan pelayanan antenatal sesuai standar yang ditetapkan, dengan syarat minimal satu kali kontak pada triwulan I, minimal satu kali kontak pada triwulan II dan minimal dua kali kontak pada triwulan ke III.
7.        Cakupan K-I (akses) adalah persentase ibu hamil di suatu wilayah waktu tertentu yang pernah mendapat pelayanan antenatal sesuai standar paling sedikit satu kali selama kehamilan.
8.        Cakupan ibu hamil cakupan K-4: persentase ibu hamil di suatu wilayah waktu tertentu, yang mendapatkan pelayanan antenatal sesuai standar paling sedikit empat kali, dengan distribusi pemberian pelayanan minimal satu kali pada triwulan I, satu kali pada triwulan II dan dua kali pada triwulan III.
9.        Sasaran ibu hamil: semua ibu hamil di suatu wilayah dalam kurun waktu satu tahun.
10.    Cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan:persentase ibu bersalin di suatu wilayah dalam kurun waktu tertentu.
11.    Cakupan penjaringan: deteksi dini ibu yang beresiko yang ditemukan oleh tenaga kesehatan dan dirujuk ke sarana yang lebih tinggi.
12.    Cakupan kunjungan neonatal adalah persentase bayi neonatal (kurang dari satu bulan) yang memperoleh pelayanan kesehatan minimal dua kali dari tenaga kesehatan, satu kali pada hari pertama sampai dengan hari ketujuh dan satu kali pada hari kedelapan sampai pada hari kedua puluh delapan.
Baik buruknya kinerja seorang bidan dapat diketahui setelah dilakukan penilaian kinerja. Penilaian kinerja adalah proses menilai hasil karya personel dalam suatu organisasi melalui instrumen penilaian kinerja. Penilaian kinerja merupakan proses yang berkelanjutan untuk menilai kualitas kerja personel dan usaha untuk mempertinggi kerja personel dalam organisasi. Penilaian kinerja adalah proses penelusuran kegiatan pribadi personel pada masa tertentu yang menilai hasil karya yang ditampilkan terhadap pencapaian sasaran sistem manajemen (Prihadi, 2004). Bila pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan uraian tugas, berarti pekerjaan itu berhasil dilaksanakan dengan baik, bila dibawah standar uraian tugas tersebut berarti pelaksanaan pekerjaan tersebut kurang baik. Kinerja seorang bidan bisa dinilai baik atau buruk setelah dilakukan penilaian berdasarkan pedoman penilaian kinerja bidan.
Menurut Buku Pedoman Penilaian Kinerja Bidan di Desa (Depkes, 2003) tata cara penilaiannya adalah sebagai berikut:
1.        Tata cara penilaian dan pembobotan.
a.       Bagi bidan desa yang bertugas di desa terpencil dan melakukan kegiatan pada malam hari (di luar jam kerja) atau pada hari libur akan diberi bonus yaitu mendapat tambahan 10% dari jumlah jam kegiatan atau libur.
b.      Untuk bidan desa yang bertugas di desa biasa (bukan desa terpencil) tidak mendapat bonus bila melakukan kegiatan pada malam hari atau libur.
2.        Evaluasi jam produktif bidan desa dalam satu tahun.
a.       Jumlah jam produktif antara 1800 ke atas diberikan penilaian sangat tinggi (jumlah jam produktif ideal 1800 jam/tahun, rata-rata jam per bulan).
b.      Jumlah jam produktif antara 1530 – 1799 jam/tahun rata-rata jam per bulan diberikan penilaian tinggi.
c.       Jumlah jam produktif antara 1260 – 1529 jam/tahun rata-rata jam per bulan diberikan penilaian sedang.
d.      Jumlah jam produktif antara 990 – 1258 jam/tahun rata-rata jam per bulan diberikan penilaian kurang.
3.        Pembobotan setiap kelompok kegiatan adalah sebagai berikut:
a.    Kegiatan pokok
Penilaian kegiatan pokok kinerja bidan desa dalam program KIA adalah sangat tinggi, tinggi, sedang, dan kurang.
Sangat tinggi   = 80% X 1800 jam            =   1440 jam per tahun
Tinggi              = 70 – 79% X 1800 jam    =   1260 – 1439 jam per tahun
Sedang            = 60 -79% X 1800 jam      =   1080 – 1259 jam per tahun
Kurang            = 50 – 59% X 1800 jam    =   900 – 1079 jam per tahun.
b.    Kegiatan administrasi dan pembinaan 20%
Penilaian kegiatan administrasi dan pembinaan kinerja bidan desa dalam program KIA adalah sangat tinggi, tinggi, desang, dan kurang.
Sangat tinggi   = 20% X 1800 jam            =   360 jam per tahun
Tinggi              = 15 – 19% X 1800 jam    =   270 – 359 jam per tahun
Sedang            = 10 – 14% X 1800 jam    =   180 – 269 jam per tahun
Kurang            = 5 – 9% X 1800 jam        = 90 – 179 jam per tahun.
Dalam penelitian ini, untuk mengukur kinerja seorang bidan, digunakan teori dalam Buku Panduan Bidan di Tingkat Desa (Depkes,2003), yang meliputi:
1.    Mutu pelayanan  
Bidan harus mampu memberikan pelayanan yang baik ibu hamil, pertolongan persalinan, perawatan nifas, kesehatan bayi dan balita, program KB, dan posyandu.
2.    Kecekatan penanganan
Mampu menjaring seluruh kasus resiko tinggi dan memberikan penanganan yang maksimal pada ibu hamil, bersalin, nifas, dan bayi baru lahir.
3.    Pembinaan masyarakat
Mampu meningkatkan dan menggerakkan peran serta masyarakat dalam pembinaan kesehatan ibu dan anak.
4.    Penyuluhan keliling
Mampu meningkatkan perilaku sehat pada masyarakat dengan memberikan penyuluhan keliling secara berkala pada masyarakat.

2.2.  Hubungan Karakteristik Individu, Kecerdasan Emosional, dan Kinerja Bidan

Kinerja bidan merupakan proses kerja yang dilakukan oleh seorang bidan dalam menangani semua pekerjaannya dan hasil yang dicapai dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat sebagai pengguna jasanya. Dikatakan bahwa kinerja bukan hanya outcome, konsekuensi atau hasil dari perilaku, tetapi juga mencakup perbuatan atau perilaku kerja itu sendiri.
Perilaku kerja yang berhubungan dengan kinerja adalah yang berkaitan dengan dengan karakteristik masing-masing individu. Menurut Darma (2005) bahwa faktor-faktor karakteristik individu yang mempengaruhi kinerja meliputi umur, jenis kelamin, pendidikan, lama kerja, da penempatan kerja. Sedangkan Siagian (2008) menyatakan bahwa karakteristik individu mencakup usia, jenis kelamin, status perkawinan, jumlah tanggungan, dan masa kerja seseorang. Seorang pegawai akan bekerja dengan baik apabila mempunyai kecerdasan emosi yang baik dan mampu mengelola emosinya dengan baik pula. Kecerdasan emosional menuntut pemilikan perasaan untuk belajar mengakui, menghargai perasaan diri dan orang lain, menerapkan energi positif emosi pada hubungan sesama pegawai dan pekerjaan.

2.3.  Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu yang bisa dijadikan referensi dalam penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Yulyanti Fahruna (2012), yang berjudul Pengaruh Karakteristik Individu dan Kecerdasan Emosional Terhadap Kinerja Pegawai Pada Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika Kota Pontianak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis karakteristik individu, kecerdasan emosional dan kinerja pegawai serta pengaruhnya terhadap kinerja pegawai baik secara parsial maupun simultan pada Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika Kota Pontianak. Metode penelitian digunakan dalam penelitian ini adalah descriptive survey dan verifikatif survey pada 52 karyawan Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika Kota Pontianak. Teknik yang digunakan untuk menguji hipotesis ialah analisis jalur (Path Analysis). Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik individu pegawai pada Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika Kota Pontianak termasuk dalam kategori tinggi. Kemampuan dan kepribadian termasuk juga pada kategori tinggi. Jika ditinjau dari kecerdasan emosional maka secara umum berada pada kategori tinggi kesadaran diri, pengelolaan diri, motivasi diri, empati dan ketrampilan sosial termasuk dalam kategori tinggi. Selanjutnya, dilihat dari kinerja karyawan maka secara umum berada dalam kategori tinggi, kualitas, ketepatan waktu, efektivitas biaya, kebutuhan akan pengawasan dan pengaruh antar pribadi termasuk dalam kategori tinggi sedangkan dari segi kuantitas berada dalam kategori cukup. Selanjutnya, hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik individu dan kecerdasan emosional memiliki pengaruh positif dan signifikan baik secara simultan maupun parsial terhadap kinerja pegawai pada Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika Kota Pontianak.
Penelitian lainnya dilakukan oleh Ike Handayani (2014), yang berjudul Pengaruh Karakteristik Individu dan Lingkungan Kerja Terhadap Kinerja Pegawai Rumah Sakit Umum Pamekasan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis karakteristik individu dan lingkungan kerja secara simultan dan secara parsial mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kinerja pegawai RSUD (Studi Kasus di RSUD dr. H. Slamet Martodirdjo Pamekasan), untuk mengetahui dan menganalisis mana antara karakteristik individu dan lingkungan kerja yang mempunyai pengaruh dominan terhadap kinerja pegawai RSUD (Studi Kasus di RSUD dr. H. Slamet Martodirdjo Pamekasan). Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik individu dan lingkungan kerja mempunyai pengaruh signifikan baik secara simultan maupun secara parsial terhadap kinerja pegawai RSUD dr. H. Martodirdjo Kabupaten Pamekasan. Dibuktikan dengan nilai signifikansi 0,003 (<0,05) sehingga dengan demikian disimpulkan bahwa secara simultan semua variabel bebas mempunyai pengaruh signifikan terhadap variabel terikat. Demikian juga dengan hasil uji t yang menunjukkan bahwa semua variabel mempunyai nilai signifikansi <0,05 sehingga disimpulkan bahwa masing-masing variabel bebas mempunyai pengaruh signifikan terhadap variabel terikat. Lingkungan kerja mempunyai pengaruh dominan terhadap kinerja pegawai RSUD dr. H. Martodirdjo Kabupaten Pamekasan. Dibuktikan dengan nilai beta, nilai t hitung, dan nilai signifkansi variabel lingkungan kerja yang lebih tinggi dibandingkan dengan variabel karakteristik individu. Dibuktikan dengan nilai beta, nilai t hitung, dan nilai signifkansi variabel lingkungan kerja yang lebih tinggi dibandingkan dengan variabel karakteristik individu. Besarnya koefisien R2 (adjust R square) adalah sebesar 0.115. Koefisien tersebut menunjukkan bahwa pengaruh yang diberikan oleh variabel bebas (X)  terhadap variabel terikat (Y) adalah sebesar 11,5%. Hal ini menunjukkan bahwa dalam penelitian ini 11,5% kinerja pegawai RSUD dr. H. Martodirdjo Kabupaten Pamekasan (Y) dipengaruhi oleh karakteristik individu dan lingkungan kerja.

Candra Kurniawati (2012) melakukan penelitian dengan judul Pengaruh Karakteristik Individu dan Karakteristik Pekerjaan Terhadap Kinerja Karyawan Pada Koperasi Wanita Melati Kudus. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh karakteristik individu dan karakteristik pekerjaan terhadap kinerja karyawan Koperasi Wanita Melati Kudus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh yang positif dan signifikan variabel karakteristik individu terhadap kinerja karyawan pada Koperasi Wanita Melati Kudus secara parsial yang didasarkan pada hasil pengujian nilai t hitung sebesar 6,066 memiliki nilai t hitung lebih besar dari nilai t tabel sebesar 1,675 dan probabilitas signifikansi sebesar 0,000 dibawah 0,05. Adanya pengaruh yang positif dan signifikan antara variabel karakteristik pekerjaan terhadap kinerja karyawan pada Koperasi Wanita Melati Kudus secara parsial yang didasarkan pada nilai t hitung sebesar 4,436 memiliki nilai t hitung lebih besar dari nilai t tabel sebesar 1,675 dan probabilitas signifikansi sebesar 0,000 dibawah 0,05. Ada pengaruh yang signifikan antara variabel karakteristik individu dan karakteristik pekerjaan terhadap kinerja karyawan pada Koperasi Wanita Melati Kudus secara berganda yang didasarkan pada hasil pengujian nilai F hitung sebesar 83,108 memiliki nilai F hitung lebih besar dari nilai t tabel sebesar 3,175 dan probabilitas sebesar 0,000 dibawah 0,05, dalam hal karakteristik individu menurut tanggapan responden yang mengatakan bahwa gaji yang diterima belum sesuai dengan tarif gaji yang standar, sedangkan variabel karakteristik pekerjaan yang masih dirasakan lemah adalah pengawasan yang dilakukan.

Posted by wiwien lindarto
Konsultan olah data & konsultan perpustakaan
083834917307


Tidak ada komentar:

Posting Komentar