BAB
I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Bidan merupakan salah satu tenaga kesehatan yang
memiliki peran penting dalam suatu puskesmas. Bidan memberikan pelayanan
kebidanan yang berkesinambungan dan paripurna, berfokus pada aspek pencegahan,
promosi dengan berlandaskan kemitraan dan pemberdayaan masyarakat bersama-sama
dengan tenaga kesehatan lainnya untuk senantiasa siap melayani siapa saja yang
membutuhkannya, kapan dan dimanapun berada. Profesi kebidanan secara nasional
diakui dalam undang-undang maupun Peraturan Pemerintah Indonesia yang merupakan
salah satu tenaga pelayanan kesehatan profesional (Yanti, 2010).
Bidan puskesmas merupakan bagian sumber daya manusia
dalam organisasi puskesmas yang bekerja untuk kepentingan pelayanan masyarakat.
Berhasil atau tidaknya
suatu organisasi
puskesmas dalam mencapai tujuannya tergantung
oleh keberhasilan individu
organisasi termasuk para bidan dalam
menjalankan tugas mereka. Bidan merupakan sumber daya yang
penting bagi organisasi puskesmas, karena memiliki akal, bakat, tenaga,
keinginan, pengetahuan, perasaan, dan kreatifitas serta kinerja yang tinggi yang
sangat dibutuhkan oleh organisasi untuk mencapai visi dan misi organisasi. Kinerja
adalah prestasi kerja atau prestasi sesungguhnya yang dicapai seseorang
(Mangkunegara, 2010). Kinerja merupakan kualitas dan kuantitas hasil kerja yang
dicapai seorang pegawai berdasarkan standar yang telah ditetapkan dalam waktu
tertentu. Kinerja pegawai akan memberikan kontribusi yang nyata terhadap
kinerja organisasi. Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi kinerja sumber
daya manusia (SDM). Menurut Simamora (2005) kinerja dipengaruhi oleh tiga
faktor yaitu faktor individu, faktor psikologis dan faktor organisasi.
Sedangkan Rahmatullah (2003) menjelaskan bahwa kinerja SDM dipengaruhi tiga
faktor, yaitu faktor individu, faktor psikologis, dan faktor organisasi.
Wirawan (2009) menjelaskan bahwa kinerja SDM merupakan hasil sinergi dari tiga
faktor, yaitu faktor internal karyawan, faktor internal organisasi dan faktor
eksternal. Dalam penelitian ini kinerja bidan akan dianalisa dari pengaruh
karakteristik individu dan kecerdasan emosional.
Karakteristik individu
adalah segala sesuatu yang melekat dalam diri seseorang yang bisa mempengaruhi
kinerjanya. Menurut Robbins (2006) karakteristik individu dilihat dari faktor-faktor yang mudah
didefinisikan dan
tersedia, data yang dapat diperoleh sebagian besar dari informasi yang tersedia dalam berkas personalia
seorang pegawai. Ia mengemukakan
karakteristik
individu meliputi usia, jenis kelamin, status perkawinan, banyaknya tanggungan dan masa kerja
dalam organisasi. Sedangkan
Siagian (2008) menyatakan bahwa, karakteristik
biografikal (individu) dapat dilihat
dari umur, jenis kelamin, status perkawinan, jumlah tanggungan dan masa kerja.
Kecerdasan emosional adalah
kemampuan lebih yang dimiliki seorang dalam memotivasi diri, ketahanan dalam
menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda kepuasan, serta mengatur
jiwa. Dengan kecerdasan emosional tersebut seorang dapat menempatkan emosinya
pada porsi yang tepat, memiliki kepuasan dan mengatur suasana hati (Goleman,
2005). Menurut Meyer (2007) kecerdasan emosional juga diartikan suatu kemampuan
khusus membaca perasaan terdalam orang yang melakukan kontak, dan menangani
relasi secara efektif. Sementara pada saat yang sama dapat memotivasi diri
sendiri dan memenuhi tantangan manajemen relasi. Kecerdasan emosional seorang
bidan bisa diartikan sebagai kemampuan bidan dalam memberikan hubungan baik
dengan masyarakat atau pasien, memberikan pelayanan penyembuhan, memberikan
motivasi sehat, dan memotivasi diri sendiri sebagai pelayan kesehatan untuk
masyarakat umum.
Dalam penelitian ini,
peneliti mengkaji pengaruh karakteristik individu dan kecerdasan emosional
terhadap kinerja bidan pada lingkup Puskesmas Teja Kabupaten Pamekasan. Pada
saat ini terdapat 30 bidan yang bertugas di Puskesmas Teja Kabupaten Pamekasan.
Penilaian kinerja bidan sebagai pelaku organisasi pusat pelayanan kesehatan
masyarakat dilakukan dengan membuat ukuran kinerja yang sesuai dengan tujuan
organisasi. Standar penilaian kinerja bidan harus dapat diproyeksikan kedalam
standar kinerja para bidan sesuai dengan unit kerjanya. Untuk itu perlu
dilakukan kegiatan penilaian kinerja secara periodik yang berorientasi pada
kegiatan-kegiatan bidan, baik kegiatan pokok bidan maupun kegiatan administrasi
yang telah ditangani oleh bidan, agar kriteria penilaian kinerja bidan sesuai
dengan standar kriteria kinerja yang ditetapkan.
Berdasarkan uraian
tersebut maka peneliti ingin mengadakan penelitian yang berjudul PENGARUH
KARAKTERISTIK INDIVIDU DAN KECERDASAN EMOSIONAL TERHADAP KINERJA BIDAN PADA
LINGKUP PUSKESMAS TEJA KABUPATEN PAMEKASAN.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar
belakang di atas rumusan masalah yang diajukan sebagai berikut:
1.
Apakah karakteristik individu dan
kecerdasan emosional secara simultan mempunyai pengaruh yang signifikan
terhadap kinerja bidan pada lingkup Puskesmas Teja Kabupaten Pamekasan?
2.
Apakah karakteristik individu dan
kecerdasan emosional secara parsial mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap
kinerja bidan pada lingkup Puskesmas Teja Kabupaten Pamekasan?
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini
bertujuan untuk :
1.
Mengetahui dan menganalisis pengaruh
simultan karakteristik individu dan kecerdasan emosional secara signifikan
terhadap kinerja bidan pada lingkup Puskesmas Teja Kabupaten Pamekasan.
2.
Mengetahui dan menganalisis pengaruh
parsial karakteristik individu dan kecerdasan emosional secara signifikan
terhadap kinerja bidan pada lingkup Puskesmas Teja Kabupaten Pamekasan.
1.4. Manfaat Penelitian
1.
Manfaat praktis
Sebagai
bahan masukan dan pertimbangan bagi Puskesmas Teja mengenai sejauhmana pengaruh
karakter individu dan kecerdasan emosial terhadap kinerja bidan, sehingga
pimpinan puskesmas mampu menilai kinerja para bidan dan mengambil kebijakan
dalam peningkatan kinerja sesuai dengan standar yang ditetapkan.
2.
Manfaat teoritis
Hasil
penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi pihak lain khususnya
penelitian mendatang dalam melakukan kajian atau penelitian dengan pokok
permasalahan yang sama, serta sebagai bahan bacaan dan pengetahuan bagi pembaca
pada umumnya.
|
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1. Landasan Teori
2.1.1. Karakteristik Individu
Makmuri (2004) menyebutkan bahwa manusia berperilaku
baik ataupun buruk ditentukan oleh empat variabel yaitu karakteristik
biografik, kemampuan, kepribadian, dan proses belajar. Karakteristik biografik
pada diri individu dapat berupa umur, jenis kelamin, status perkawinan, jumlah
anggota dalam keluarga, pendapatan dan senioritas. Pendapat lain dikemukakan
oleh Rakhmat (2004) bahwa salah satu faktor situasional yang mempengaruhi
perilaku manusia adalah faktor-faktor sosial yang didalamnya adalah
karakteristik individu dalam populasi berupa usia, kecerdasan, dan
karakteristik biologis. Pendapat ini didukung oleh Darma (2005) bahwa
faktor-faktor karakteristik individu yang mempengaruhi kinerja meliputi umur,
jenis kelamin, pendidikan, lama kerja, penempatan kerja.
Mathis dan Jackson (2002) menyatakan bahwa, karakteristik personal (individu) mencakup usia, jenis
kelamin, masa kerja, tingkat pendidikan,
suku bangsa, dan kepribadian. Robbins (2006) menyatakan bahwa, faktor-faktor yang mudah
didefinisikan dan
tersedia, data yang dapat diperoleh sebagian besar dari informasi yang tersedia dalam berkas personalia
seorang pegawai mengemukakan karakteristik
individu meliputi usia, jenis kelamin, status perkawinan, banyaknya tanggungan dan masa kerja
dalam organisasi. Siagian
(2008) menyatakan bahwa, karakteristik
biografikal (individu) dapat dilihat
dari umur, jenis kelamin, status perkawinan, jumlah tanggungan dan masa kerja. Dari
pendapat Robbins dan Siagian di atas yang membentuk karakteristik individu dalam organisasi meliputi:
usia, jenis kelamin, status perkawinan, masa
kerja,
dan jumlah tanggungan.
1. Faktor-faktor karakteristik individu
Terdapat
beberapa faktor yang mempengaruhi karakteristik individu, antara lain :
a. Usia
Kamus Umum Bahasa
Indonesia menyatakan bahwa, usia
(umur) adalah lama waktu hidup atau ada
(sejak dilahirkan atau diadakan.
Dyne
dan Graham (2005) menyatakan bahwa, pegawai
yang berusia lebih tua
cenderung lebih mempunyai rasa keterikatan atau komitmen pada organisasi dibandingkan dengan yang
berusia muda sehingga meningkatkan
loyalitas
mereka pada organisasi. Hal ini bukan saja disebabkan karena lebih lama tinggal di organisasi, tetapi
dengan usia tuanya tersebut, makin sedikit
kesempatan
pegawai untuk menemukan organisasi. Robbins (2006)
menyatakan bahwa, semakin
tua usia pegawai, makin tinggi komitmennya
terhadap organisasi, hal ini disebabkan karena kesempatan individu untuk mendapatkan
pekerjaan lain menjadi lebih terbatas sejalan dengan
meningkatnya usia. Keterbatasan tersebut dipihak lain dapat meningkatkan persepsi yang lebih positif
mengenai atasan sehingga dapat meningkatkan
komitmen mereka terhadap organisasi.
Nitisemito (2000)
menyatakan bahwa, pegawai
yang lebih muda cenderung mempunyai
fisik yang kuat, sehingga diharapkan dapat bekerja keras dan pada umumnya mereka belum berkeluarga
atau bila sudah berkeluarga anaknya
relatif
masih sedikit. Tetapi pegawai yang lebih muda umumnya kurang berdisiplin, kurang
bertanggungjawab dan sering berpindah-pindah pekerjaan dibandingkan pegawai yang lebih tua.
b. Jenis
Kelamin
Sebagai makhluk Tuhan, manusia
dibedakan menurut
jenis
kelaminnya yaitu pria
dan wanita. Robbins
(2006) menyatakan bahwa, tidak
ada perbedaan yang konsisten antara
pria dan wanita dalam kemampuan memecahkan masalah, ketrampilan analisis, dorongan kompetitif,
motivasi, sosiabilitas atau kemampuan belajar. Namun
studi-studi psikologi telah menemukan bahwa wanita lebih bersedia untuk mematuhi wewenang dan pria
lebih agresif dan lebih besar kemungkinannya
daripada wanita dalam memiliki pengharapan untuk sukses. Dyne dan Graham (2005) menyatakan
bahwa pada
umumnya wanita menghadapi
tantangan lebih besar dalam mencapai karirnya. Hal ini disebabkan wanita merasa
bahwa tanggung jawab rumah tangganya ada
di tangan suami mereka, sehingga gaji
bukanlah
sesuatu yang sangat penting
bagi dirinya.
c. Status
perkawinan
Status perkawinan adalah ikatan lahir batin antara
pria dan wanita sebagai suami istri
dengan
tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Soekanto
(2000), menyatakan bahwa, perkawinan
(marriage) adalah ikatan yang
sah antara seorang pria dan wanita yang menimbulkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban antara mereka
maupun turunannya. Robbins
(2006) menyatakan bahwa, pernikahan
memaksakan peningkatan tanggung
jawab yang dapat membuat suatu pekerjaan menjadi lebih
berharga dan penting.
d. Masa Kerja
Menurut Balai Pustaka
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menyatakan bahwa masa kerja (lama bekerja) merupakan
pengalaman individu
yang akan menentukan pertumbuhan dalam pekerjaan dan jabatan. Pengalaman kerja didefinisikan sebagai suatu
kegiatan atau proses yang pernah dialami oleh seseorang
ketika mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Siagian (2008)
menyatakan bahwa, masa
kerja menunjukkan berapa lama seseorang
bekerja pada masing-masing pekerjaan atau jabatan. Kreitner dan Kinicki (2004)
menyatakan bahwa, masa
kerja yang lama akan cenderung
membuat seorang pegawai lebih merasa betah dalam suatu organisasi, hal ini disebabkan
diantaranya karena telah beradaptasi dengan
lingkungannya
yang cukup lama sehingga seorang pegawai akan merasa nyaman dengan pekerjaannya.
Penyebab lain juga dikarenakan adanya
kebijakan
dari instansi atau perusahaan mengenai jaminan hidup di hari tua.
e. Jumlah
tanggungan
Siagian (2008) menyatakan
bahwa, jumlah
tanggungan adalah seluruh jumlah
anggota keluarga yang menjadi tanggungan seseorang. Berkaitan dengan tingkat absensi,
jumlah tanggungan yang lebih besar akan
mempunyai
kecenderungan absen yang kecil, sedangkan dalam kaitannya dengan turn over
maka semakin banyak jumlah tanggungan seseorang, kecenderungan untuk pindah pekerjaan semakin
kecil.
Mengacu pada berbagai terori di atas, dalam
penelitian ini pembentuk karakteristik individu yang mempengaruhi kinerja karyawan adalah : usia, status
perkawinan, masa
kerja, jumlah tanggungan, dan pendapatan.
2.1.2. Kecerdasan Emosional
Goleman (2005) mendefinisikan kecerdasan emosional (EQ) sebagai kapasitas
dalam mengenali perasaaan-perasaan diri sendiri dan orang lain, dalam
memotivasi diri sendiri dan mengelola emosi-emosi dengan baik dalam diri kita
sendiri maupun dalam hubungan-hubungan kita. Goleman menjelaskan bahwa
koordinasi suasana hati adalah inti dari hubungan sosial yang baik. Apabila
seorang pandai menyesuaikan diri dengan suasana hati individu yang lain atau
dapat berempati, orang tersebut akan memiliki tingkat emosional yang baik dan
akan lebih mudah menyesuaikan diri dalam pergaulan sosial serta lingkungannya.
Goleman juga menyatakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan lebih yang
dimiliki seorang dalam memotivasi diri, ketahanan dalam menghadapi kegagalan,
mengendalikan emosi dan menunda kepuasan, serta mengatur jiwa. Dengan
kecerdasan emosional tersebut seorang dapat menempatkan emosinya pada porsi
yang tepat, memiliki kepuasan dan mengatur suasana hati.
Menurut Meyer (2007) kecerdasan emosional juga diartikan suatu kemampuan
khusus membaca perasaan terdalam orang yang melakukan kontak, dan menangani
relasi secara efektif. Sementara pada saat yang sama dapat memotivasi diri sendiri
dan memenuhi tantangan manajemen relasi. Kemampuan ini pada dasarnya dimiliki
oleh ahli strategi, motivator, pelatih, negosiator dan semua pengembang sumber
daya manusia, mereka juga mendengar kata-kata yang tak terucapkan, pesan yang
tak terdengar, melalui wajah dan bahasa tubuh sehingga dapat menyampaikan
berita yang memiliki arti penting. Pengertian lain menurut Robbins (2006),
kecerdasan emosional adalah kumpulan keterampilan, kemampuan dan kompetisi
non-kognitif yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil dalam
menghadapi tuntutan dan tekanan lingkungan.
Cooper (2002) mendefinisikan
kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan, memahami dan secara selektif
menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi dan pengaruh yang manusiawi.
Kecerdasan emosi menuntut pemilikan perasaan untuk belajar mengakui, menghargai
perasaan pada diri dan orang lain serta menanggapinya dengan tepat, menerapkan
secara efektif energi emosi dalam kehidupan sehari-hari. Tentu saja kecerdasan
emosional tidak cukup hanya memiliki perasaan. Kecerdasan emosional
menuntut kita untuk belajar mengakui dan menghargai perasaan-pada
diri kita dan orang lain-dan untuk menanggapinya dengan tepat, menerapkannya
dengan efektif informasi dan energi emosi dalam kehidupan dan pekerjaan.
Agustian (2006), menerjemahkan kecerdasan emosional adalah kemampuan
untuk merasa. Kunci kecerdasan emosi adalah pada kejujuran suara hati. Suara
hati itulah yang harusnya dijadikan pusat prinsip yang mampu memberi rasa aman,
pedoman, kekuatan serta kebijaksanaan.
Sternberg dan Salovey (dalam Goleman, 2005) mengatakan bahwa kecerdasan
emosional adalah kemampuan mengenali emosi diri merupakan kemampuan seseorang
dalam mengenali perasaannya sendiri sewaktu perasaan atau emosi itu muncul dan
ia mampu mengenali emosinya sendiri apabila ia memiliki kepekaan yang tinggi
atas perasaan mereka yang sesungguhnya dan kemudian mengambil keputusan
mengambil keputusan-keputusan secara mantap.
Pengertian kecerdasan emosional yang lain dikemukan oleh Mayer (dalam
Goleman, 2005) adalah sebagai sekelompok kemampuan mental yang membantu
mengenali dan memahami perasaan-perasaan sendiri dan perasaan orang lain yang
menuntun kepada kemampuan untuk mengatur perasaan-perasaan sendiri. Ada dua
sisi kecerdasan emosi, yaitu kepandaian memahami emosi dan menambahkan
kreativitas dan intuisi pada pikiran logis. Kecerdasan emosi berkembang sejalan dengan
usia dan pengalaman dari kanak-kanak hingga dewasa, lebih penting lagi bahwa
kecerdasan emosional dapat dipelajari. Kecerdasan
emosional sebagai kemampuan di bidang emosi, yaitu kemampuan menghadapi
frustasi, kemampuan mengendalikan emosi, semangat optimisme, dan kemampuan
menjalin hubungan dengan orang lain (empati). Awangga (2008) menyatakan bahwa kecerdasan
emosional identifikasi atau mengenali nama-nama orang lain; mengungkapkan
emosi, menilai intensitas emosi, menunda atau mengetahui perbedaan emosi.
Ketrampilan kognitif antara lain, mengenali isyarat dan aturan sosial atau
sopan santun, introspeksi atau evaluasi diri, berpikir positif; kesadaran diri,
dan menyelesaikan masalah. Sementara keterampilan perilaku meliputi kemampuan non-verbal
(menyampaikan pesan atau emosi dengan bahasa atau isyarat tubuh) dan verbal
(berbicara).
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan definisi kecerdasan
emosional adalah kemampuan seseorang untuk memahami emosi sendiri dan emosi
orang lain, memotivasi diri, serta menjalin hubungan dengan orang lain. Goleman
(2005) menjelaskan bahwa kecerdasan emosional terbagi ke dalam lima wilayah
utama, yaitu kemampuan mengenali emosi diri, mengelola emosi diri, memotivasi
diri sendiri, mengenali emosi orang lain, dan kemampuan membina hubungan dengan
orang lain. Secara jelas hal tersebut dijelaskan sebagai berikut:
1.
Kesadaran Diri (Self Awareness)
Self
Awareness adalah kemampuan untuk mengetahui apa yang dirasakan dalam
dirinya dan menggunakannya untuk memandu pengambilan keputusan diri sendiri,
memiliki tolok ukur yang realistis atas kemampuan diri sendiri dan kepercayaan
diri yang kuat.
Kesadaran
diri adalah suatu cara memproses informasi sehingga sadar akan perasaan dan
perilaku diri maupun persepsi orang lain tentang diri pribadi. Proses ini dapat
dilakukan dengan memanfaatkan informasi, kepekaan, perasaan, penilaian dan
maksud diri yang disediakan oleh diri sendiri. Informasi ini akan membantu
seseorang untuk memahami cara diri untuk menanggapi, bersikap, berkomunikasi,
dan bertindak di dalam situasi yang berbeda. Kesadaran diri yang tinggi
merupakan dasar dari kecerdasan emosional dan kesadaran diri yang rendah dapat
menghambat tindakan atau pekerjaan yang seharusnya dilakukan. Kesadaran diri
dapat diperlihatkan dengan kepercayaan diri, penilaian diri yang realistis dan
rasa humor yang mencela diri sendiri.
2.
Pengelolaan Diri (Self Management)
Self
Management adalah kemampuan seseorang dalam mengendalikan dan menangani
emosinya sendiri sedemikian rupa sehingga berdampak positif pada pelaksanaan
tugas, memiliki kepekaan pada kata hati, serta sanggup menunda kenikmatan
sebelum tercapainya suatu sasaran dan mampu pulih kembali dari tekanan emosi.
Pengelolaan
diri adalah kemampuan mengelola emosi dengan cara memahami emosi dan kemudian
menggunakan pemahaman tersebut untuk merubah situasi bagi kebaikan diri.
Pengelolaan diri ini dapat diperlihatkan dengan sifat layak dipercaya dan
integritas, nyaman menghadapi ambiguitas dan keterbukaan terhadap perubahan.
3.
Motivasi (Self Motivation)
Self
Motivation merupakan hasrat yang paling dalam untuk menggerakkan dan
menuntun diri menuju sasaran, membantu pengambilan inisiatif serta bertindak
sangat efektif, dan mampu untuk bertahan dan bangkit dari kegagalan dan
frustasi. Motivasi diri adalah kemampuan untuk menyadari dan menggunakan sumber
motivasi diri untuk menghadapi kegagalan dan berusaha untuk bangkit kembali.
Empat sumber motivasi diri adalah: diri sendiri (pemikiran, stimulasi, perilaku
diri); teman, keluarga, rekan kerja yang mendukung; mentor emosi (nyata ataupun
fisik); lingkungan kerja (udara, cahaya, suara dan pesan-pesan di kantor).
Motivasi diri dapat diperlihatkan dengan dorongan yang kuat untuk mencapai
prestasi, optimisme, dan komitmen organisasi yang tinggi.
4.
Empati (Empathy/Social awareness)
Empathy
merupakan
kemampuan merasakan apa yang dirasakakan orang lain, mampu memahami perspektif
orang lain dan menumbuhkan hubungan saling
percaya,
serta mampu menyelaraskan diri dengan berbagai tipe hubungan. Empati adalah
kemampuan untuk merasakan bagaimana perasaan orang lain dengan cara mengenali
dan merespon emosi serta perasaan orang lain, menuntun emosi itu menuju
resolusi yang produktif atas suatu situasi dan menggunakan emosi tersebut untuk
membantu orang lain menolong diri mereka. Empati ini dapat diperlihatkan dengan
keahlian membangun dan mempertahankan bakat, kepekaan lintas budaya, dan
layanan terhadap klien atau pekerja.
5.
Ketrampilan Sosial (Relationship
Management)
Relationship
Management adalah kemampuan untuk menangani emosi dengan baik ketika
berhubungan sosial dengan orang lain, mampu membaca situasi dan jaringan sosial
secara cermat, berinteraksi dengan lancar, menggunakan ketrampilan ini untuk
mempengaruhi, memimpin, bermusyawarah, menyelesaikan perselisihan, serta
bekerja sama dalam tim. Keterampilan ini dapat diperlihatkan dengan kemampuan
memimpin upaya perubahan, pembujukan dan keahlian membangun dan memimpin tim.
Goleman (2005) lebih lanjut mengatakan bahwa yang termasuk dimensi dari
kecerdasan emosional adalah kemampuan mengontrol diri, memacu, tetap tekun,
serta dapat memotivasi diri. Kemampuan tersebut mencakup pengelolaan bentuk
emosi baik yang positif maupun yang negatif.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa indikator
kecerdasan emosional adalah 1) kemampuan untuk mengetahui perasaan sendiri
sehingga mengetahui kelebihan dan kekurangannya, 2) kemampuan menangani emosi
sendiri, 3) kemampuan memotivasi diri untuk terus maju, 4) kemampuan merasakan
emosi dan kepribadian orang lain, dan 5) kemampuan menjalin hubungan dengan
orang lain.
Dalam suatu organisasi, setiap pegawai berinteraksi dengan pegawai lainnya.
Dibutuhkan rasa nyaman dan menyenangkan dari setiap
pegawai, sehingga mereka dapat bekerjasama dengan baik, serta memiliki kemampuan untuk
mengorganisasikan kelompok, mampu berkomunikasi dengan baik, mampu mengelola konflik yang
terjadi dalam organisasi, serta menjadi katalisator
perubahan yang terjadi dalam organisasi. Kemampuan seorang pegawai dalam mengatur emosinya secara cerdas akan
memunculkan sosok pegawai yang mampu mengunakan
emosinya secara benar, tenang dalam bekerja dan dapat mengambil keputusan dengan tepat. Pegawai
demikian akan efektif dalam melaksanakan tugasnya.
Menurut Carter (2010), ada dua aspek utama kecerdasan emosional yaitu: (1)
memahami diri sendiri, tujuan, cita-cita, respons, dan perilaku, (2) memahami orang lain dan
perasaan mereka.
Dengan memiliki kecerdasan emosional yang baik, yakni memahami perasaan
sendiri akan memunculkan sikap bijaksana dalam
mengambil keputusan, serta dapat mengungkapkan emosinya secara selaras. Pegawai yang
mampu mengendalikan dirinya sendiri selalu tenang dalam menghadapi permasalahan dalam
pekerjaan, sehingga
dapat mengatasi permasalahan dengan pikiran yang jernih, juga akan dapat
bernegosiasi dalam memecahkan suatu masalah atau
memecahkan silang pendapat diantara pegawai yang lain. Selain itu mampu menciptakan sinergi kelompok
dan
dapat bekerjasama dengan orang lain demi tujuan
bersama.
Goleman (2005), menjelaskan bahwa emosi sangat penting bagi kehidupan
manusia kerena emosi merupakan penggerak perilaku (motivator)
dalam arti dapat meningkatkan kinerja, namun sebaliknya apabila kecemasan yang ditimbulkan
berlebihan akan dapat menghambat prestasi kerjanya.
Pendapat tersebut memperlihatkan bahwa terdapat dua sisi dari emosi, yaitu emosi yang
terkendali akan menjadi motivator terhadap peningkatan kualitas perilaku, sedang emosi yang
tidak
terkendali terutama apabila menimbulkan kecemasan
berlebihan akan menjadi penghambat prestasi. Oleh sebab itu, seseorang yang memiliki kecerdasan
emosional yang baik
harus mampu mengelola dengan baik, sehingga menjadi motivator
perilaku, dan menekan emosi (kecemasan berlebihan)
yang menjadi penghambat dalam meningkatkan kinerja.
Menurut Carter (2010), orang yang memiliki soft competency sering
disebut
memiliki kecerdasan emosional atau emotional intelligence,
yang sering diukur sebagai emotional intelligent quotient (EQ), adalah kemampuan untuk
menyadari emosi diri
sendiri dan emosi orang lain. Adanya hubungan antara kompetensi dan
kemampuan seseorang dalam mengendalikan emosi sangat
bermanfaat untuk mengembangkan kompetensi seseorang. Apabila seseorang ingin merubah
kompetensinya, dia harus mampu merubah cara
berpikirnya, terutama dalam menggunakan kemampuan intelegensinya serta mengendalikan emosinya. Jika
kita
mengabaikan pengembangan kecerdasan emosional kita
dengan tidak menjalankan disiplin diri untuk berusaha mencapai kemenangan pribadi yang selanjutnya
akan
membawa kemenangan publik, kita akan mengalami
trauma-trauma emosional, stres, dan emosi-emosi yang negatif dan merusak, seperti marah, iri hati,
ketamakan, kecemburuan,
dan rasa bersalah yang irasional. Pengembangan kompetensi teknis biasanya lebih mudah
dilakukan daripada pengembangan kompetensi perilaku karena kompetensi teknis lebih fokus
kepada
pengetahuan dan keterampilan yang dapat diperoleh dan
dikembangkan dengan hanya membaca, mendengar atau mengikuti pelatihan. Berbeda dari kompetensi
teknis,
pengembangan kompetensi perilaku memerlukan waktu yang
lebih panjang karena pengembangan kompetensi perilaku memerlukan perubahan sikap. Perubahan
sikap
tersebut erat hubungannya dengan keseimbangan emosi
dan logika, karena itu perubahan sikap tersebut memerlukan kecerdasan emosi. Dengan kemampuan
emosional yang berkembang baik, seseorang kemungkinan besar ia akan berhasil dan bahagia dalam
kehidupannya, karena ia menguasai kebiasaan berfikir yang mendorong produktivitasnya. Sedangkan
orang
yang tidak dapat mengendalikan kehidupan emosionalnya,
ia akan mengalami pertarungan batin, yang merampas kemampuan mereka dalam memusatkan
perhatian pada pekerjaan.
Dengan demikian, konsep kecerdasan emosional berarti memiliki
kesadaran diri yang memungkinkan diri sendiri untuk
mengenali perasaan-perasaan dan mengelola emosi diri sendiri dan itu melibatkan motivasi diri dan mampu
untuk
fokus pada sebuah tujuan dari pada menuntut pemenuhan
segera.
2.1.3.
Kinerja Bidan
A. Pengertian Kinerja
Kinerja merupakan
istilah yang berasal dari kata Job Performance atau Actual
Performance yaitu prestasi kerja atau prestasi sesungguhnya yang dicapai
oleh seseorang (Mangkunegara, 2010). Definisi kinerja dinyatakan oleh beberapa
ahli, diantaranya: ”perbandingan antara hasil kerja yang secara nyata dengan
standar kerja yang ditetapkan”. Dessler (2003), ”kesuksesan seseorang dalam
melaksanakan pekerjaan atau successful role achievement yang diperoleh
dari pembuatan-pembuatannya”. Wirawan (2009) menyatakan bahwa kinerja merupakan
singkatan dari kinetika energi kerja. Kinerja adalah keluaran yang
dihasilkan oleh fungsi-fungsi atau indikator suatu pekerjaan atau suatu profesi
dalam waktu tertentu. Mangkunegara (2010) menjelaskan bahwa kinerja individu
adalah hasil kerja baik dari segi kualitas maupun kuantitas berdasarkan standar
kerja yang telah ditentukan. Kinerja individu ini akan tercapai apabila
didukung oleh atribut individu, upaya kerja (work effort) dan dukungan
organisasi.
Hasibuan (2007)
menyatakan kinerja merupakan perwujudan kerja yang dilakukan oleh karyawan yang
biasanya dipakai sebagai dasar penilaian terhadap karyawan atau organisasi.
Kinerja yang baik merupakan langkah untuk tercapainya tujuan organisasi.
Sehingga perlu diupayakan usaha untuk meningkatkan kinerja. Tetapi hal itu
tidak mudah sebab banyak faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya kinerja
seseorang. As’ad (2000) menyatakan kinerja adalah hasil yang dicapai seseorang
menurut ukuran yang berlaku untuk pekerjaan yang bersangkutan. Dharma (2001)
menyatakan sesuatu yang dikerjakan atau produk/jasa yang dihasilkan atau
diberikan seseorang atau sekelompok orang.
Bernadin dan Russel
(2000) menyatakan kinerja adalah catatan perolehan yang dihasilkan dari fungsi
suatu pekerjaan tertentu atau kegiatan selama satu periode pekerjaan tertentu.
Simamora (2004) menyatakan kinerja mengacu pada kadar pencapaian tugas-tugas
yang membentuk sebuah pekerjaan karyawan. Kinerja merefleksikan seberapa baik
karyawan memenhi persyaratan sebuah pekerjaan. Rivai (2008) menyatakan kinerja
merupakan perilaku nyata yang ditampilkan setiap orang sebagai prestasi kerja
yang dihasilkan oleh karyawan sesuai dengan perannya dalam perusahaan. Kinerja
karyawan merupakan suatu hal yang sangat penting dalam upaya perusahaan untuk
mencapai tujuannya.
Dari beberapa uraian di
atas, dapat disimpulkan bahwa kinerja adalah hasil nyata yang dicapai seseorang
dalam melaksanakan tugas yang diberikan kepadanya sesuai dengan kriteria dan
tujuan yang ditetapkan oleh organisasi.
Kinerja diketahui
dengan cara melakukan penilaian kinerja. Menurut Simamora (2004) penilaian
kinerja seyogyanya tidak dipahami secara sempit, tetapi dapat menghasilkan
beraneka ragam jenis kinerja yang diukur melalui berbagai cara. Kuncinya adalah
dengan sering mengukur kinerja dan menggunakan informasi tersebut untuk koreksi
pertengahan periode. Simamora juga mengatakan bahwa kinerja karyawan
sesungguhnya dinilai atas lima dimensi, yaitu mutu, kuantitas, penyelesaian
proyek, kerjasama, dan kepemimpinan. Sedangkan menurut Tohardi (2002)
menyatakan bahwa unsur-unsur kinerja dinilai dari tujuh kriteria, yaitu
kesetiaan, prestasi kerja, tanggung jawab, ketaatan, kejujuran, prakarsa, dan
kepemimpinan. Tidak semua kriteria pengukuran kinerja dipakai dalam suatu
penilaian kinerja karyawan dimana hal ini harus disesuaikan dengan jenis
pekerjaan yang akan dimulai. Penerapan standar diperlukan untuk mengetahui
apakah kriteria karyawan telah sesuai dengan sasaran yang telah diharapkan,
sekaligus melihat besarnya penyimpangan dengan cara membanding kan antara hasil
pekerjaan aktual dengan hasil yang diharapkan. Oleh karena itu standar yang baku merupakan tolok ukur bagi
kinerja yang akan dievaluasi.
Aspek penting dari
suatu sistem penilaian kinerja adalah standar yang jelas. Sasaran utama dari
adanya standar tersebut ialah teridentifikasinya unsur-unsur kritikal suatu
pekerjaan. Standar itulah yang merupakan tolok ukur seseorang melaksanakan
pekerjaannya. Standar yang telah ditetapkan tersebut harus mempunyai nilai
komparatif yang dalam penerapannya harus dapat berfungsi sebagai alat
pembanding antara prestasi kerja seorang karyawan dengan karyawan lain yang
melakukan pekerjaan sejenis. Menurut Robbins (2006) metode penilaian kinerja
pada umumnya dikelompokkan menjadi tiga macam, yaitu; result-based performance evaluation; behavior-based performance
evaluation; judgment-based performance evaluation.
1.
Penilaian kinerja berdasarkan hasil (result-based performance evaluation).
Tipe kriteria ini merumuskan performansi pekerjaan berdasarkan pencapaian
tujuan organisasi, atau mengukur hasil-hasil akhir. Sasaran performansi bisa
ditetapkan oleh manajemen atau oleh kelompok kerja, tetapi jika menginginkan
agar para pekerja meningkatkan produktivitas kerja, maka penetapan sasaran
secara partisipatif, dengan melibatkan para pekerja, akan jauh berdampak
positif terhadap peningkatan produktivitas organisasi. Praktek penetapan tujuan
secara partisipatif, yang biasanya dikenal dengan istilah management bu objective (MBO), dianggap sebagai sarana motivasi
yang sangat strategis karena para pekerja langsung terlibat dalam
keputusan-keputusan perihal tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Para
pekerja akan cenderung menerima tujuan-tujuan itu sebagai tujuan mereka
sendiri, dan merasa lebih bertanggung jawab untuk dan selama pelaksanaan
pencapaian tujuan-tujuan itu.
2.
Penilaian kinerja berdasarkan perilaku (behavior-based performance evaluation).
Tipe performansi ini mengukur sarana (means)
pencapaian sasaran dan bukannya hasil akhir. Dalam praktek, kebanyakan
pekerjaan tidak memungkinkan diberlakukannya ukuran-ukuran performansi yang
berdasarkan pada obyektivitas, karena melibatkan aspek-aspek kualitatif. Jenis
kriteria ini biasanya dikenal dengan BARS (behaviorally
anchored rating scales) dibuat dari critical
incident yang terkait dengan berbagai dimensi performansi. BARS menganggap
bahwa para pekerja bisa memberikan uraian yang tepat mengenai perilaku atau
performansi yang efektif dan yang tidak efektif. Standar-standar dimunculkan
dari diskusi-diskusi kelompok mengenai kejadian-kejadian kritis di tempat
kerja. Sesudah serangkaian diskusi, skala dibangun bagi setiap dimensi
pekerjaan. Jika tercapai tingkat persetujuan yang tinggi antara para penilai
maka BARS diharapkan mampu mengukur secara tepat mengenai apa yang akan diukur.
BARS merupakan instrumen yang paling bagus untuk pelatihan dan produksi dari
berbagai departemen. Sifatnya kolaboratif memakan waktu yang banyak dan biasanya
pada jenis pekerjaan tertentu, adalah job
specific, tidak banyak dipindahkan dari suatu organisasi ke organisasi
lain.
3.
Penilaian kinerja berdasarkan judgement
(judgement-based performance evaluation).
Tipe kriteria performansi yang menilai dan atau mengevaluasi performansi kerja
pekerja berdasarkan deskripsi perilaku yang spesifik seperti kualitas kerja,
kuantitas kerja, pengetahuan, kerjasama, inisiatif, dan sejenisnya.
Dimensi-dimensi ini biasanya menjadi perhatian dari tipe ini.
B. Kinerja Bidan
Kinerja bidan sesuai
dengan buku panduan bidan di tingkat desa dapat diukur melalui keberhasilan
bidan dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi bidan menurut Depkes (2003),
yaitu:
1.
Meningkatkan cakupan dan mutu pelayanan
kesehatan ibu hamil, pertolongan persalinan, perawatan nifas, kesehatan bayi
dan anak balita serta pelayanan dan konseling pemakaian kontrasepsi serta
keluarga berencana melalui upaya strategis antara lain posyandu dan polindes.
2.
Menjaring seluruh kasus resiko tinggi
ibu hamil, bersalin, nifas, dan bayi baru lahir untuk mendapatkan penanganan
memadai sesuai kasus rujukannya.
3.
Meningkatkan peran serta masyarakat
dalam pembinaan kesehatan ibu dan anak di wilayah kerjanya.
4.
Meningkatkan perilaku sehat pada ibu,
keluarga dan masyarakat yang mendukung upaya penurunan angka kematian ibu dan
angka kematian bayi.
Untuk mendukung
keberhasilan kinerja bidan maka bidan diwajibkan tinggal serta bertugas
melayani masyarakat di wilayah kerjanya yang meliputi 1 atau 2 desa serta
melakukan pelayanan secara aktif, artinya tidak selalu menetap atau menunggu
pasien di tempat pelayanan atau polindes, namun juga melakukan kegiatan
pelayanan keliling dan kunjungan rumah sesuai dengan kebutuhan.
Batasan tugas dan
fungsi bidan desa seperti diuraikan di atas dapat dijabarkan lebih rinci
sebagai berikut (Depkes, 2003):
1.
Pelayanan antenatal: dilaksanakan sesuai
standar 5T yaitu pemeriksaan fundus uteri, mendapat tetanus toxoid, penimbangan
berat badan, pemeriksaan tekanan darah dan mendapat tablet tambah darah.
2.
Penjaringan (deteksi): penemuan ibu
beresiko hamil.
3.
Kunjungan ibu hamil: kunjungan tidak
mengandung arti bahwa ibu hamil
yang berkunjung ke sarana kesehatan tetapi setiap
kontak dengan tenaga kesehatan.
4.
Kunjungan ibu baru hamil (K-I):kunjungan
ibu hamil yang pertama kali.
5.
Kunjungan ulang: adalah kontak ibu hamil
yang kedua dan seterusnya dengan tenaga kesehatan.
6.
Kunjungan K-4: adalah kunjungan yang
keempat atau lebih untuk mendapatkan pelayanan antenatal sesuai standar yang
ditetapkan, dengan syarat minimal satu kali kontak pada triwulan I, minimal
satu kali kontak pada triwulan II dan minimal dua kali kontak pada triwulan ke
III.
7.
Cakupan K-I (akses) adalah persentase
ibu hamil di suatu wilayah waktu tertentu yang pernah mendapat pelayanan
antenatal sesuai standar paling sedikit satu kali selama kehamilan.
8.
Cakupan ibu hamil cakupan K-4:
persentase ibu hamil di suatu wilayah waktu tertentu, yang mendapatkan pelayanan
antenatal sesuai standar paling sedikit empat kali, dengan distribusi pemberian
pelayanan minimal satu kali pada triwulan I, satu kali pada triwulan II dan dua
kali pada triwulan III.
9.
Sasaran ibu hamil: semua ibu hamil di
suatu wilayah dalam kurun waktu satu tahun.
10. Cakupan
pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan:persentase ibu bersalin di suatu
wilayah dalam kurun waktu tertentu.
11. Cakupan
penjaringan: deteksi dini ibu yang beresiko yang ditemukan oleh tenaga
kesehatan dan dirujuk ke sarana yang lebih tinggi.
12. Cakupan
kunjungan neonatal adalah persentase bayi neonatal (kurang dari satu bulan)
yang memperoleh pelayanan kesehatan minimal dua kali dari tenaga kesehatan,
satu kali pada hari pertama sampai dengan hari ketujuh dan satu kali pada hari
kedelapan sampai pada hari kedua puluh delapan.
Baik buruknya kinerja seorang bidan
dapat diketahui setelah dilakukan penilaian kinerja. Penilaian kinerja adalah
proses menilai hasil karya personel dalam suatu organisasi melalui instrumen
penilaian kinerja. Penilaian kinerja merupakan proses yang berkelanjutan untuk
menilai kualitas kerja personel dan usaha untuk mempertinggi kerja personel
dalam organisasi. Penilaian kinerja adalah proses penelusuran kegiatan pribadi
personel pada masa tertentu yang menilai hasil karya yang ditampilkan terhadap
pencapaian sasaran sistem manajemen (Prihadi, 2004). Bila pelaksanaan pekerjaan
sesuai dengan uraian tugas, berarti pekerjaan itu berhasil dilaksanakan dengan
baik, bila dibawah standar uraian tugas tersebut berarti pelaksanaan pekerjaan
tersebut kurang baik. Kinerja seorang bidan bisa dinilai baik atau buruk
setelah dilakukan penilaian berdasarkan pedoman penilaian kinerja bidan.
Menurut Buku Pedoman Penilaian
Kinerja Bidan di Desa (Depkes, 2003) tata cara penilaiannya adalah sebagai
berikut:
1.
Tata cara penilaian dan pembobotan.
a.
Bagi bidan desa yang bertugas di desa terpencil dan melakukan
kegiatan pada malam hari (di luar jam kerja) atau pada hari libur akan diberi
bonus yaitu mendapat tambahan 10% dari jumlah jam kegiatan atau libur.
b.
Untuk bidan desa yang bertugas di desa biasa (bukan
desa terpencil) tidak mendapat bonus bila melakukan kegiatan pada malam hari
atau libur.
2.
Evaluasi jam produktif bidan desa dalam satu tahun.
a.
Jumlah jam produktif antara 1800 ke atas diberikan
penilaian sangat tinggi (jumlah jam produktif ideal 1800 jam/tahun, rata-rata
jam per bulan).
b.
Jumlah jam produktif antara 1530 – 1799 jam/tahun
rata-rata jam per bulan diberikan penilaian tinggi.
c.
Jumlah jam produktif antara 1260 – 1529 jam/tahun
rata-rata jam per bulan diberikan penilaian sedang.
d.
Jumlah jam produktif antara 990 – 1258 jam/tahun
rata-rata jam per bulan diberikan penilaian kurang.
3.
Pembobotan setiap kelompok kegiatan adalah sebagai
berikut:
a.
Kegiatan pokok
Penilaian kegiatan pokok kinerja bidan desa dalam program KIA adalah sangat
tinggi, tinggi, sedang, dan kurang.
Sangat tinggi =
80% X 1800 jam = 1440 jam per tahun
Tinggi =
70 – 79% X 1800 jam = 1260 – 1439 jam per tahun
Sedang =
60 -79% X 1800 jam = 1080 – 1259 jam per tahun
Kurang =
50 – 59% X 1800 jam = 900 – 1079 jam per tahun.
b.
Kegiatan administrasi dan pembinaan 20%
Penilaian kegiatan administrasi dan
pembinaan kinerja bidan desa dalam program KIA adalah sangat tinggi, tinggi,
desang, dan kurang.
Sangat tinggi = 20% X 1800 jam = 360 jam per tahun
Tinggi = 15 – 19% X 1800 jam = 270 – 359 jam per tahun
Sedang = 10 – 14% X 1800 jam = 180 – 269 jam per tahun
Kurang = 5 – 9% X 1800 jam =
90 – 179 jam per tahun.
Dalam
penelitian ini, untuk mengukur kinerja seorang bidan, digunakan teori dalam
Buku Panduan Bidan di Tingkat Desa (Depkes,2003), yang meliputi:
1. Mutu
pelayanan
Bidan
harus mampu memberikan pelayanan yang baik ibu hamil, pertolongan persalinan,
perawatan nifas, kesehatan bayi dan balita, program KB, dan posyandu.
2. Kecekatan
penanganan
Mampu
menjaring seluruh kasus resiko tinggi dan memberikan penanganan yang maksimal
pada ibu hamil, bersalin, nifas, dan bayi baru lahir.
3.
Pembinaan masyarakat
Mampu
meningkatkan dan menggerakkan peran serta masyarakat dalam pembinaan kesehatan
ibu dan anak.
4.
Penyuluhan keliling
Mampu
meningkatkan perilaku sehat pada masyarakat dengan memberikan penyuluhan
keliling secara berkala pada masyarakat.
2.2. Hubungan Karakteristik Individu, Kecerdasan
Emosional, dan Kinerja Bidan
Kinerja bidan merupakan
proses kerja yang dilakukan oleh seorang bidan dalam menangani semua
pekerjaannya dan hasil yang dicapai dalam memberikan pelayanan kepada
masyarakat sebagai pengguna jasanya. Dikatakan bahwa kinerja bukan hanya outcome, konsekuensi atau hasil dari
perilaku, tetapi juga mencakup perbuatan atau perilaku kerja itu sendiri.
Perilaku kerja yang berhubungan
dengan kinerja adalah yang berkaitan dengan dengan karakteristik masing-masing
individu. Menurut Darma (2005) bahwa faktor-faktor karakteristik individu yang
mempengaruhi kinerja meliputi umur, jenis kelamin, pendidikan, lama kerja, da penempatan
kerja. Sedangkan Siagian (2008) menyatakan bahwa karakteristik individu
mencakup usia, jenis kelamin, status perkawinan, jumlah tanggungan, dan masa
kerja seseorang. Seorang pegawai akan bekerja dengan baik apabila mempunyai
kecerdasan emosi yang baik dan mampu mengelola emosinya dengan baik pula.
Kecerdasan emosional menuntut pemilikan perasaan untuk belajar mengakui,
menghargai perasaan diri dan orang lain, menerapkan energi positif emosi pada
hubungan sesama pegawai dan pekerjaan.
2.3. Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu
yang bisa dijadikan referensi dalam penelitian ini adalah penelitian yang
dilakukan oleh Yulyanti Fahruna (2012), yang berjudul Pengaruh Karakteristik
Individu dan Kecerdasan Emosional Terhadap Kinerja Pegawai Pada Dinas
Perhubungan, Komunikasi dan Informatika Kota Pontianak. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis karakteristik individu, kecerdasan
emosional dan kinerja pegawai serta pengaruhnya terhadap kinerja pegawai baik
secara parsial maupun simultan pada Dinas Perhubungan, Komunikasi dan
Informatika Kota Pontianak. Metode penelitian digunakan dalam penelitian ini
adalah descriptive survey dan verifikatif survey pada 52 karyawan
Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika Kota Pontianak. Teknik yang digunakan
untuk menguji hipotesis ialah analisis jalur (Path Analysis). Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik
individu pegawai pada Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika Kota
Pontianak termasuk dalam kategori tinggi. Kemampuan dan kepribadian termasuk
juga pada kategori tinggi. Jika ditinjau dari kecerdasan emosional maka secara
umum berada pada kategori tinggi kesadaran diri, pengelolaan diri, motivasi
diri, empati dan ketrampilan sosial termasuk dalam kategori tinggi. Selanjutnya,
dilihat dari kinerja karyawan maka secara umum berada dalam kategori tinggi, kualitas,
ketepatan waktu, efektivitas biaya, kebutuhan akan pengawasan dan pengaruh
antar pribadi termasuk dalam kategori tinggi sedangkan dari segi kuantitas
berada dalam kategori cukup. Selanjutnya, hasil penelitian menunjukkan bahwa
karakteristik individu dan kecerdasan emosional memiliki pengaruh positif dan
signifikan baik secara simultan maupun parsial terhadap kinerja pegawai pada Dinas
Perhubungan, Komunikasi dan Informatika Kota Pontianak.
Penelitian lainnya
dilakukan oleh Ike Handayani (2014), yang berjudul Pengaruh Karakteristik
Individu dan Lingkungan Kerja Terhadap Kinerja Pegawai Rumah Sakit Umum
Pamekasan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis karakteristik individu dan
lingkungan kerja secara simultan dan
secara parsial mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kinerja pegawai RSUD (Studi Kasus di RSUD dr. H. Slamet Martodirdjo
Pamekasan), untuk mengetahui dan menganalisis mana
antara karakteristik individu dan lingkungan kerja yang mempunyai pengaruh dominan terhadap kinerja pegawai RSUD (Studi Kasus di RSUD dr. H. Slamet Martodirdjo
Pamekasan).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik individu dan lingkungan kerja mempunyai
pengaruh signifikan baik secara simultan maupun secara
parsial terhadap kinerja
pegawai RSUD dr. H. Martodirdjo Kabupaten Pamekasan. Dibuktikan dengan nilai
signifikansi 0,003
(<0,05) sehingga dengan demikian disimpulkan bahwa secara
simultan semua variabel bebas mempunyai pengaruh signifikan terhadap variabel
terikat.
Demikian juga dengan hasil uji t yang menunjukkan bahwa semua variabel
mempunyai nilai signifikansi <0,05 sehingga disimpulkan bahwa masing-masing
variabel bebas mempunyai pengaruh signifikan terhadap variabel terikat. Lingkungan kerja mempunyai pengaruh dominan
terhadap kinerja pegawai
RSUD dr. H. Martodirdjo Kabupaten Pamekasan. Dibuktikan dengan nilai
beta, nilai t hitung,
dan nilai signifkansi
variabel lingkungan kerja yang lebih tinggi dibandingkan
dengan variabel karakteristik individu. Dibuktikan dengan nilai beta, nilai t hitung, dan nilai signifkansi variabel lingkungan kerja yang
lebih tinggi dibandingkan dengan variabel karakteristik individu. Besarnya
koefisien R2 (adjust R square) adalah sebesar 0.115. Koefisien
tersebut menunjukkan bahwa pengaruh yang diberikan oleh variabel bebas (X) terhadap variabel terikat (Y) adalah sebesar
11,5%. Hal ini menunjukkan bahwa dalam penelitian ini 11,5% kinerja pegawai
RSUD dr. H. Martodirdjo Kabupaten Pamekasan (Y) dipengaruhi oleh karakteristik
individu dan lingkungan kerja.
Candra Kurniawati (2012)
melakukan penelitian dengan judul Pengaruh Karakteristik Individu dan
Karakteristik Pekerjaan Terhadap Kinerja Karyawan Pada Koperasi Wanita Melati
Kudus. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh karakteristik
individu dan karakteristik pekerjaan terhadap kinerja karyawan Koperasi Wanita
Melati Kudus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh yang positif dan
signifikan variabel karakteristik individu terhadap kinerja karyawan pada
Koperasi Wanita Melati Kudus secara parsial yang didasarkan pada hasil
pengujian nilai t hitung sebesar 6,066 memiliki nilai t hitung lebih besar dari
nilai t tabel sebesar 1,675 dan probabilitas signifikansi sebesar 0,000 dibawah
0,05. Adanya pengaruh yang positif dan signifikan antara variabel karakteristik
pekerjaan terhadap kinerja karyawan pada Koperasi Wanita Melati Kudus secara
parsial yang didasarkan pada nilai t hitung sebesar 4,436 memiliki nilai t hitung
lebih besar dari nilai t tabel sebesar 1,675 dan probabilitas signifikansi
sebesar 0,000 dibawah 0,05. Ada pengaruh yang signifikan antara variabel
karakteristik individu dan karakteristik pekerjaan terhadap kinerja karyawan
pada Koperasi Wanita Melati Kudus secara berganda yang didasarkan pada hasil
pengujian nilai F hitung sebesar 83,108 memiliki nilai F hitung lebih besar
dari nilai t tabel sebesar 3,175 dan probabilitas sebesar 0,000 dibawah 0,05,
dalam hal karakteristik individu menurut tanggapan responden yang mengatakan
bahwa gaji yang diterima belum sesuai dengan tarif gaji yang standar, sedangkan
variabel karakteristik pekerjaan yang masih dirasakan lemah adalah pengawasan
yang dilakukan.
Posted by wiwien lindarto
Konsultan olah data & konsultan perpustakaan
083834917307
Tidak ada komentar:
Posting Komentar